selamat datang

salam sehat ala sholawat shifak

Tuesday, January 29, 2013



ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI
( BPH )
 










Diajukan Untuk memenuhi Persyaratan
Dalam menyelesaikan pendidikan Dipoloma III Keperawatan

Disusun oleh

Madu Nur Dyah Ayu

G01.2003.01657




PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2006

HALAMAN  PENGESAHAN


Karya Tulis ilmhah dengAn jedul “ASUHANKEPERAWATAN BENIGNA PROSTATHIPERPLASI ” telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji
KaryA Tudis Ilmiah fakultas Ilmu KepErawata Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang

Pada tanggal

……………….

Tim Penguji

Ns.Tri Nur Hidayati, S.Kep


……………….

Tri Hartiti, SKM.MKes


……………….

HALAMAN  PERSETUJUAN


Karya Tulis ilmiah dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI ” telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji
Karya Tulis Ilmiah fakultas Ilmu Keperawata dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang

Pada tanggal

……………….



Pembimbing


Ns.Tri Nur Hidayati, S.Kep


.


KATA PENGANTAR
            Rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul: “Asuhan Keperawatan Hiperplasi Prostat Benigna (BPH)”.
Penyusunan laporan ini adalah rangkaian dari Ujian Akhir Komprehensif  ajukan untuk diujikan dalam ujian sidang. Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari sempurna.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada ;
  1. Bapak Abu Su’ud selaku Rektor UNIMUS
  2. Bapak Edy Soesanto, Skp selaku Dekan FIKKES UNIMUS
  3. Bapak M. Fatkhul Mubin, Skp selaku kaprodi D III Keperawatan
  4. Ibu Tri NurHidayati,S.Kep banyak membimbing dan memberi saran
  5. Bapak / Ibu Dosen pengajar atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan
  6. Bapak, Ibu dan adik tercinta yang telah memberikan dorongan moril dan materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini
  7. iv
     
    Rekan-rekan mahasiswa D III Keperawatan angkatan 2003, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini, penulis banyak mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda, Amin.
Karena keterbatasan, penulis yakin bahwa laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangannya. Untuk itu demi kelengkapan dan kesempurnaan laporan ini, penulis mengharap dengan sangat himbauan dan saran serta kritik yang membangun dari pembaca. Dan sebelumnya penulis ucapkan terima kasih.
                                                                                    Semarang, juli 2006
                                                                                    Penulis,













DAFTAR ISI


Halaman Judul ...................................................................................................... i
Halaman Persetujuan............................................................................................. ii
Halaman Pengesahan............................................................................................. iii
Kata Pengantar...................................................................................................... iv
Daftar Isi............................................................................................................... vi
BAB I       Konsep Dasar Penyakit....................................................................... 1
A.    Pengertian...................................................................................... 1
B.     Anatomi......................................................................................... 1
C.     Fisiologi......................................................................................... 3
D.    Pathofisiologi................................................................................ 10
E.     Etiologi.......................................................................................... 12
F.      Penatalaksanaan............................................................................ 12
BAB II .... Konsep Dasar Keperawatan................................................................ 14
A.    Pengkajian Data Dasar.................................................................. 14
B.     Pemeriksaaan Penunjang.......................................................... .... 18
C.     Pathway......................................................................................... 22
D.    Diagnosa Keperawatan................................................................. 23
E.     Intervensi....................................................................................... 23
Daftar Pustaka
vi
 
           


BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi usia lanjut, dengan bertambahnya usia akan menjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90  tahun 100%. Prevalensi meningkat sejalan dengan peningkatan usia pada pria dan insidebn di negara berkembang meningkat karena adanya peningkatan umur harapan hidup (Mansjoer, 2000)
Pada tahap awal penderita dengan pembesaran kelenjar prostat dapat mengalami kesulitan berkemih, hal ini dapat disebabkan karena adanya penekanan pada uretra sehingga menimbulkan penyempitan bahkan penutupan saluran kemih. Gejala yang bisa terlihat pada pasien mulai adanya  nyeri pada saat berkemih, sering kencing tapi hanya menetes, bahkan dapat terjadi retensi urine dimana pasien tidak dapat berkemih lagi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka kan terjadi komplikasi, diantaranya hidroureter, hidroneprosisi bahkan gagal ginjal (Samsuhidayat, 1998)
Mengingat besarnya resiko pada penderita dengan pembesaran prostat maka penting sekali untuk dilakukan operasi.
BAB I
KONSEP DASAR PENYAKIT

A.    Pengertian

Hyperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostate (secara umum pada pria lebih tua dari 50 Th) menyebabkan berbagai derajat obtruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doenges, 2000, 671). ( BPH adalah pembesaran glandula dan jaringan selular kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan, kelenjar prostat mengitari kandung kemih dan uretra sehingga pembesaran prostat sering kali menghalangi penggosongan kandung kemih.( Tucker,1998: 605 )
Hyperplasia Prostat Benigna ( BPH ) adalah kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. Dan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun. ( Brunner and Suddarth, 1996:167 )Prostatektomi dan reseksi bedah bagian prostat yang memotong uretra untuk memperbaiki aliaran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
( Doenges, 1999: 679 )
B.     Anatomi
Struktur reproduksi pria terdiri dari penis, testis, jamak testis dalam kantong skrotum,sistem duktus yang terdiri dari epididmis,
kavernosum. Ujung distal penis , dikenal sebagai glans, ditutupi oleh prepusium ( kulup ). Prepusium dapat dilepas dengan pembedahan  ( sirkumsisi , sunat )
 ( Price,1992: 1146 ).
Testis terdiri dari sejumlah besar tubulus seminiferus yang berkelok-kelok, tempat sperma dibentuk. Sperma kemudian dikosongkan ke dalam epididimis, dan kemudian menuju ke vas deferens, yang membesar pada ampula vas deferens segera sebelum masuk ke badan kelenjar prostat. Vesika seminalis, masing-­masing terletak di tiap sisi-sisi prostat, bermuara dalam ujung prostatik ampula, serta isi dari kedua ampula dan vesika seminalis berjalan masuk duktus ejakulatorius yang masuk ke dalam badan kelenjar prostat untuk bermuara kedalam uretra interna. Duktus prostatikus selanjutnya bermuara ke dalam duktus ejakulatorius. Akhirnya uretra merupakan penghubung terakhir ke luar. Uretra di suplai dengan mukus yang berasal dari banyak kelenjar Littre kecil, yang terletak sepanjang uretra dan juga dari kelenjar bulbouretralis besar bilateral yang terletak dekat pangkal uretra.
C.  Fisiologi
Kelenjar prostat mengsekeresi cairan alkali yang encer, seperti susu, yang mengandung asam sitrat, kalsium, asam phosfat, enzim pembekuan , dan fibrinolisin. Selama pemancaran kapsula kelenjar prostat berkontraksi serentak dengan kontraksi vas deferens dan vesika seminalis sehingga cairan keprostat yang encer, seperti susu menambah masa semen. Sifat alkali cairan prostat mungkin sangat penting untuk keberhasilan   fertilisasi  ovum,  karena        cairan





C.    ETIOLOGI

Etiologi BPH belum jelas namun terdapat factor resiko umur dan hormone androgen. Perubahan microskopik pada prostate telah terjadi pada usia 30-40 Th bila perubahan mickroskopik ini berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pria 50 Th.angka kejadiannya sekitar 50% usia 80 Th sekitar 80% dan usia 90 Th adalah 100%.
Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. Kelenjar prostate bagian Peri-uretra atau central yang responsive terhadap hormone estrogen akan mengalami hiperplasia.

D.    ANATOMI

Gambar melukiskan berbagai bagian sistem reproduksi pria. Testis terdiri dari sejumlah besar tubulus seminiferus yang berkelok-kelok, tempat sperma dibentuk. Sperma kemudian dikosongkan ke dalam epididimis, dan kemudian menuju ke vas deferens, yang membesar pada ampula vas deferens segera sebelum masuk ke badan kelenjar prostat. Vesika seminalis, masing-­masing terletak di tiap sisi-sisi prostat, bermuara dalam ujung prostatik ampula, serta isi dari kedua ampula dan vesika seminalis berjalan masuk duktus ejakulatorius yang masuk ke dalam badan kelenjar prostat untuk bermuara kedalam uretra interna. Duktus prostatikus selanjutnya bermuara ke dalam duktus ejakulatorius. Akhirnya uretra merupakan penghubung terakhir ke luar. Uretra di suplai dengan mukus yang berasal dari banyak kelenjar Littre kecil, yang terletak sepanjang uretra dan juga dari kelenjar bulbouretralis besar bilateral yang terletak dekat pangkal uretra.

Sistem Reproduksi Pria










Silvia A. Price, 1995

E.     FISIOLOGI

Fungsi reproduksi pria dapat dibagi dalam tiga subgolongan utama:
1.      spermatogenesis yang hanya berarti pembentukan sperma.
2.      pelaksanaan kerja seksual pria
3.      pengaturan fungsi seksual pria oleh berbagai hormon
Yang berhubungan dengan fungsi reproduksi ini adalah efek hormon seks pria pada organ seks tambahan, pada metabolisme sel, pada pertumbuhan, pada fungsi tubuh lain.
1.      Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi pada semua tubulus seminiferus selama kehidupan seks aktif, muali rata-rata pada usia 13 tahun, sebagai akibat perangsangan oleh hormon-hormon gonadrotopin adenohipofisis dan terus berlangsung selama hidup.
Langkah-langkah spermatogenesis:
Stadium pertama spermatogenesis adalah pertumbuhan beberapa spermatogonia menjadi sel yang sangat besar yang dinamakan spermatosit. Kemudian spermatosit membelah dengan proses mieosis (di sini tidak ada pembentukan kromosom baru baru, kromosok hanya pemisah pasangan kromosom) membentuk dua spermatosit, masing-masing mengandung 23 kromosom. Spermatid tidak membelah lagi tetapi menjadi spermatozoa.
Kromosom seks, pada setiap spermatogonium,salah satu dari 23 kromosom membawa informasi genetik yang menentukan seks dari turunan akhir. Pasangan ini terdiri dari satu kromosom "X", yang dinamakan kromosom wanita dan satu kromosom "Y", kromosom pria. Selama pembelahan mitosis, kromosom penentu seks dibagi di antara spermatid sehingga separoh sperma pria yang mengandung kromosom "Y" dan setengah lainnya sperma wanita yang mengandung kromosom "X". Kelamin dari keturunan ditentukan oleh jenis sperma mana yang mengadakan fertilisasi pada ovum.
Pembentukan sperma. Bila spermatid pertama kali dibentuk, mereka masih mempunyai sifat umum sel epitolid, tetapi segera sebagian besar sitoplasmanya menghilang, dan setiap spermatid mulai menjang menjadi spermatozoa. Di depan kepala sperma terdapat stuktur kecil yang dinamakan akrosom, yang dibentuk dari aparatus Golgi serta mengandung hialuronidase dan protease yang memegang peranan penting untuk masuknya sperma ke dalam ovum.
Sentriol mengelompok pada leher sperma dan mitokondria tersusun berbentuk spiral dalam badan. Yang menonjol keluar tubuh adalah ekor panjang, yang merupakan pertumbuhan keluar dari salah satu sentriol. Ekor hampir mempunyai struktur yang hampir sama seperti silia.
Fungsi sel sertoli. Sel sertoli dari epitel germinativum, yang dikenal sebagai sel sustentakular. Sel ini meluas dari basis epitel tubulus seminiferus sampai bagian dalam tubulus. Spermatid meletakkan dirinya pada sel sertoli, dan timbul hubungan spesifik antara dua sel ini yang menyebabkan sperrmatid berunah menjadi spermatozoa. Sel-sel sertoli memberikan zat gizi, hormon dan mungkin juga enzim yang penting untuk menyebabkan perubahan yang tepat pada spermatid. Sel-sel sertoli juga membuang kelebihan sitoplasma sewaktu spermatid dikonversi menjadi spermatozoa.
Pematangan Sperma pada Epidisimis. Setelah pembentukan pada tubulus seminiferus, sperma masuk epididimis. Akan tetapi setelah sperma masuk epididimis selam 18 jam sampai 10 hari, mereka mengembangkan kemampuan bergerak walaupun beberapa faktor penghambat masih mencegah motilitas sampai setelah ejakulasi. Sperma juga mampu membuahi ovum, suatu proses yang dinamkan pematangan.
Penyimpanan Sperma pada Epididimis.
Sejumlah kecil sperma dapat disimpan dalam epididimis, tetapi sebagian besar sperma disimpan dalam vas deferens dan dalam arti luas dalam ampula vas deferens. Sperma tetap dapat disimpan, mempertahankan fertilitasnya dalam tempat ini selama beberapa bulan.
Fisiologi Sperma matang.
Sperma yang biasanya mortil dan fertil yang mampu melakukan pergerakan dengan menggunakan flagel melalui media cair dengan kecepatan sekitar l sampai 4 mm.per menit. Walaupun sperma dapat hidup selama berminggu-minggu pada saluran genetalia testis, masa hidup sperma di dalam traktus genetalia wanita hanya satu sampai empat hari.

2.      Fungsi Vesika Seminalis
Vesika seminalis atau kandung mani merupakan kelenjar sekresi yang dibatasi oleh epitel yang menyekresi zat mukoid yang mengandung benyak zat gizi lain maupunprostaglandin, dan fibrinogen. Prostaglandin dianggap membantu fertilisasi dalam dua jalan:
1). Dengan bereaksi dengan mukus serviks agar menjadi lebih reseptif bagi sperma,
2). Mungkin menyebabkan kontraksi peristaltik dalam arah terbalik pada uterus dan tuba fallopii, untuk menggerakkan sperma ke arah ovarium (beberapa sperma mencapai ujung atas tuba fallopii dalam lima menit).

3.      Fungsi Kelenjar Prosat
Kelenjar prostat menyekresi cairan alkali, seperti susu, yang mengandung asam sitrat, kalsium, dan beberapa zat lain. Selama pemancaran, kapsula kelenjar prostat berkontraksi serentak dengan kontraksi vas deferens dan vesika seminalis sehingga cairan kelenjar prostat yang encer seperti susu menambah massa semen. Sifat alkali cairan prostat mungkin sangat penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam karena adanya hasil akhir metabolisme sperma dan, akibatnya, menghambat fertilitasi dan motilitas sperma. Sekret vagina pada wanita juga asam (pH 3,5 sampai 4,0). Sperma tidak dapat bergerak optimum sampai pH cairan sekitarnya meningkat sekitar 6 sampai 6,5. Akibatnya mungkin cairan prostat menetralkan keasaman cairan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilisasi sperma.

4.      Semen
Semen yang diejakulasikan pria waktu melakukan hubungan seks, terdiri dari cairan vas deferens, sesika seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar mukosa, khususunya kelenjar bukbouretralis. Masa semen yang utama adalah cairan vesika seminalis (sekitar 60), yang diejakulasikan terakhir dan berperanan membarsihkan sperma keluar dari duktus ejakulatorius dan uretra. pH rata-rata semen gabungan sekitar 7,5, cairan prostat yang alkali menetralkan bagian semen lain yang agak asam. Walaupun sperma dapat hidup selama berminggu-minggu pada saluran genetalia pria, sekali ia diejakulasika dalam semen, maksimumnya hanya 24 sampai 72 _jam pada suhu tubuh. Akan tetapi, pada suhu yang lebih rendah, semen bisa disimpan selam abeberapa minggu dan bila semen dibukakan pada suhu dibawah -1000 C, spermas beberapa binatang telah diawetkan lebih dari satu tahun.
Efek jumlah sperma pada fertilitas. Biasanya jumlah semen yang diejakulasikan pada setiap kali koitus rata-rata sekitar 3,5 ml, dan pada setiap mililiter semen rata-rata terdapat sekitar 120 juta sperma, walaupun pada orang normal jumlah ini dapat bervariasi dari 35 juta sampai 200 400 juta sperma biasanya terdapat pada setiap juta. Bahwa rata-rata ejakulat.

5.      Fungsi Hormonal
Hormon yang berperan dalam sistem reproduksi adalah Testosteron dan hormon seks pria lainnya.
Sekresi testosteron oleh sel intertisial Testis. Testis hormo seks pria, yang bersama-sama dinamai di antaranya, testosteron, jauh lebih banyak serta dapat di anggap merupakan satu bertanggung jawab akan efek hormonal pria. Testosteron, di bentuk oleh sel intertisial Leydig yang terletak intertisial antara tubulis seminiferus. Selanjutnya bila timbul tumordari sel leydig, maka testosteron disekresikan dalam jumlah besar sekali.
Fungsi Testosteron:
Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab untuk membedakan sifat maskulinasasi tubuh. Testis dirangsang oleh gonadotropin korionik plasenta untuk menghasilkan sedikit testosteron waktu kehidupan fetal, tetapi pada hakekatnya, tidak ada testosteron yang dihasilkan waktu anak­anak sampai sekitar usia 10 samoai 13. Kemudian pembentukn testosteron meningkat cepat pada pubertas dan berlangsung hampir mensekresi beberapa androgen. Tetapi salah satu dan kuat dari pada lainnya hormon bermakna yang pada seluruh kehidupan, berkurang cepat setelah usia 40 tahun sampai mungkin menjadi satu perlima nilai puncak menjelang usia 80 tahun.
a. Fungsi testosteron waktu perkembangan fetus.
Testosteron mulai dikeluarkan oleh pria sekitar bulan kedua kehidupan embrional. Tentu saja, ahli embriologi yakin bahwa perbedaan fungsional utama antara kromosom seks pria dan wanita adalah bahwa kromosom pria menyebabkan rigi-rigi genital yang baru berkembang mengsekresi testosteron, sedangkan kromosom wanita menyebabkan rigi­-rigi ini mengsekresi estrogen.




D.    PATOFISIOLOGI

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan - lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi perlahan - lahan. Tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan mengalami dekompensasi tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing - masing gejala adalah:
1.      Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistansi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH
2.      Resitancy terjadi karena detrusor tidak dapat melawan resistensi uretra.
3.      Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminasi dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4.      Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5.      Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus stinger dan uretra berkurang dan tonusspingter dan uretra berkurang selama tidur.
6.      Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
7.      Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
( Mansjoer, 2000, 329).

E.     Etiologi

   Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH ) belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan homon androgen ( Mansyur, 2000: 329 ). Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron - estrogen , karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipos di perifer, berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. ( Sjamsuhidayat, 1998: 1059 )        
Penyebab kelainan ini tidak diketahui dengan jelas, tapi kini di duga akibat pengaruh hormon, antara lain androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron, sebuah metabolik biologi aktif testosteron diduga merupakan mediator pokok hiperplasia. Diduga bahwa estrogen berakibat jaringan prostat peka terhadap dampak pengalakan pertumbuhan oleh dihirotestosteron.(Stanley, 1987: 361 )

















F.     MANIFESTASI KLINIK

Biasanya gejala - gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala Iritatif yaitu sering miksi (frekuensi). Terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia) sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah. Rasa tidak lampias sehabis miksi. Kalau mau miksi harus menungu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing terputus - putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinen karena overflow. Geja(a dan tanda pasien yang telah lanjut penyakitnya dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foctor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda - tanda penurunan mental serta neuropati perifer.
(Arief Mansjoer, 2000, 330)
Kandung kemih yang teraba pada pemeriksaan abdomen dan tekanan supra pubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih.Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rektal untuk menilai besarnya kelenjar. Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memelukan reseksi bedah pada prostat.
Ada dua faktor utama yang mempengaruhi terjadinya gejala obstruksi, yaitu:
1.     Nodul hiperplastik menekan dan memanjangkan uretra prostatika yang akan mengganggu fungsinya.
2.     Ikut sertanya zona peri-uretra pada meatus uretra interna yang menggaggu mekanisme spinter.
Retensi urin akut dapat terjadi pada pria yang sebelumnya mempunyai gejala protatism; vesika urinaria teraba membesar dan lunak, dan diperlukan tindakan kateterisasi. Keadaan ini dapat ditibulkan akibat menahan kencing untuk waktu yang lama, atau oleh infark yang terjadi yang menyebabkan pembesaran yang tiba-tiba dari nadul hiperplastik. Retensi urin kronis, relatif tidak begitu sakit. Ditemukan jumlah yang meningkat disertai kencing yang tidak bisa dikontrol biasanya pada malam hari. Vesika Urinaria menegang sering teraba sampai daerah umbilikus, tetapi tidak lunak karena peregangan terjadi lebih perlahan.
(J.C.E Underwood, 2000, 612).

G.    KOMPLIKASI

Obstruksi yang berkelanjutan dari aliran keluar vesika urinaria menyebabkan terjadinya hipertropi yang bertahap dari otot vesika urinaria. Trabekulasi dinding urinaria terbentuk akibat serabut pronimen dari otot polos yang menebal di mana diantaranya dapat terjadi penonjolan divertikulum. Mekanisme kompensasi seperti ini sering mengalami kegagalan, yang menyebabkan terjadinya dilatasi vesika urinaria. Ureter secara bertahap akan mengalami dilatsi (hidroureter) menyebabkan pengembalian urine; bila tidak diobati, akan terjadi hidronefrosis, disertai dilatasi pelvis renalis dan kalises.
Akibat vesika gagal melakukan pengosongan secara penuh sehabis kencing, sedikit urine tersisa dan tertinggal didalam vesika urinaria. Sisa urine ini memungkinkan untuk terjadinya infeksi, biasanya oleh organisme koliform. Sistitis yang terjadi biasamya ditandai dengan nyeri pada waktu kencing disertai kencing yang meningkat dan hernaturia. Sending infeksi pada kejadian obstruksi traktus urinarius dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan gangguan fungsi gin jal. Infeksi yang berulang-ulang merupakan predisposisi terjadinya batu dalam vesika urinaria yang sering mengandunh fosfat. Septikemia sering terjadi sebagai komplikasi pie lonefritis.(Underwood,J.C.E,2000,612).
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.

H.    PENATALAKSANAAN

a.       Observasi (watcfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan . Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolistik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
b.      Terapi Medikamentosa
                          i.      Menghambat adrenergik a
Obat-obatan yang sering dipakai adalh prazosin, doxazosin, afluzosin, atau yang lebih selektif a 1a (tamsulosin). Efek samping yang mungkin adalah pusing-pusing (dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
                        ii.      Penghambat enzim 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proskar) dengan dosis 1 x5 mg/hr. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Salah satu efek samping dari obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA (masking effect).
                      iii.      Fitoterapi
Pengobatan fitoterapi di Indonesia antara lain adalah eviprodtat. Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw Palmetto, Serenoa repeus, dll. Efeknya diharapkan setelah pemberian selama 1-2 bulan.
c.       Terapi Bedah
Prostatektomi adalah pengangkatan kelenjar prostat sebagian atau seluruhnya. Ada empat cara pembedahan prostatektomi, masing-masing dengan hasil yang berbeda:
1.      Transuretrhal Resection Of  Prostat (TURP)
a.       Jaringan abnormal diangkat melalui rektoskop yang dimasukan melalui uretra.
b.      Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c.       Dibutuhkan kateter Foley setelah operasi.
2.      Prostatektomi Suprapubis
a.       Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
b.      Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
3.      Prostatektomi Neuropubis
a.       Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
b.      Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c.       Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4.      Prostatektomi Perineal
a.       Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b.      digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c.       Vasektomi biasanya dilakukan sebagai pencegahan epididimistis,
d.      Persiapan buang hajt diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e.       Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada TURP, prostatektomi surapubis dan retropubis , potensi hasilnya dapat meliputi:
1.     inkontinensi urinarius temporer
2.     Pengosongan urin yang keruh setelah hubungnan intim dan kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) diseabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih
Waktu untuk penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
1.      Retensio urin berulang
2.      Hematuria
3.      Tanda penurunan fungsi ginjal
4.      Infeksi saluran kemih berulang
5.      Tanda-tanda obstruksi berta yaitu divertikel, hisroureter, dan hidronefrosis.
6.      Ada batu saluran kemih.
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektifitasannya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection Of The Prostate (TUR P), Transurethral Insision Of The Prostate (TUIP), Prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
TUR P merupakan standar emas. Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90g dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremi, (TUR P), atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah stritur uretra , ejakulasi retrograd (50­90%), atau impotensi (4-40%). Bila volume prostat tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika atau prostat fibrotik dapat dilakukan Transurethral Incision Of The Prostat (TUIP). Indikasi TUIP adalah keluhan sedang atau bera, dengan volume prostat normal/kecil.Komplikasinya bisa ejakulasi retrograd (0-37%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.



BAB II

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A.    Pengkajian data dasar
Riwayat atau adanya faktor-faktor yang memerlukan pembedahan.
a.       Benigna prostat hipertropi (BPH) berkenaan dengan penyumbatan aliran.
b.      Kanker prostate.
  1. Kaji catatan medis untuk hasil-hasil:pemeriksaan rectal jari, sekeras batu  batu, tidak teratur, prostate yang tidak lunak ada masa atau keras, membesar, kelenjar yang lunak (benigna).
  2. Tanyakan tentang kesulitan dalam berkemih. Lihat bukti: penyumbatan saluran uretra yang diakibatkan pembesaran kelenjar prostate.
a.       ada penetesan setelah berkemih.
b.      keengganan.
c.       penyempitan aliran urine.
d.      sering kencing tetapi dalam jumlah sedikit.
e.       nokturia (gejala awal paling umum).
Gejala tambahan dapat meliputi:
a.       Sakit punggung bagian bawah (konsistensi dengan keadaan yang parah).
b.      Hematuria (disebabkan oleh sobekan pembuluh darah kecil dari peregangan  yang berlebihan pada kandung kemih atau infeksi).
c.       Infeksi saluran kencing (rasa terbakar, keruh, berbau busuk).
  1. Pemeriksaan diagnostic:
  1. Biopsi untuk membedakan pertumbuhan adanya keganasan atau tidak.
  2. Asam fosfat serum akan meningkat jika adanya keganasan.
  3. Alkalin fosfat serum akan meningkat jika ada metastase tulang.
  4. Lakukan scan (tulang,paru-paru, hati) untuk memeriksa metastasis jika biopsy positif terhadap keadaan yang parah.
  5. Lakukan sinar X pada kenjal pada ginjal, saluran kencing dan kemih dapat menimbulkan  hidroureter, hidronefrosis, pielonefritis dengan penyumbatan yang parah.
  6. analisis pada urine dapat menunjukkan adanya bakteriuria, SDP, atau nanah jika terdapat infeksi. Menurut Doengos ( 1999 )
  7.   Sirkulasi
Tanda : Peninggian TD (efek pembesaran ginjal).
  1.  Eliminasi
Gejala :
a.       Peurunan kekuatan/dorongan aliran urine; tetesan.
b.      Keragu-raguan pada berkemih awal.
c.       Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih.
d.      Nokturia,disuria,hematuria.
e.       Infeksi Saluran Kemih berulang, riwayat batu (stasis urinaria).
f.       Konstipasi (protusi prostate kedalam rectum).
Tanda :
a.       Masa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih.
b.      Hernia inguinalis; hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekana abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan.
  1. Makanan/cairan
Gejala:
a.       Anoreksia; mual, muntah.
b.      Penurunan berat badan.
  1. Nyeri/kenyamanan
Gejala:
a.       nyeri suprapubis, panggul, atau punggung: tajam, kuat (pada prostates akut).
b.      nyeri punggung bawah.
  1. Keamanan
Gejala:
a. demam.
  1. Seksualitas
Gejala:
a.       masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuam seksual.
b.      takut inkontinensia.
c.       penurunan kekuatan aksi ejakulasi.
Tanda:
a.   pembesaran, nyeri tekan prostat.

  1. Penyuluhan /Pembelajaran
Gejala:
a.       riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
b.      penggunaan antihipertensif atau anti depresan, anti biotic.
c.       urinaria atau agen anti biotic, obat yang dijual bebas untuk.
d.      flu/alergi obat mengandung simpatomimetik.
  1. Pemeriksaan fisik
Untuk mengukur besarnya hipertropi prostat dapat dipakai berbagai ukuran, yaitu:
1.      "Rectal grading"
2.      "Clinical grading"
3.      "Intra uretral grading"
"Rectal grading"
Dengan "rectal toucher" diperkirakan beberapa sentimeter prostat menonjol kedalam lumen dari rectum. "Rectal toucher" sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh, dapat dibuat kesalahan. Gradasi ini adalah sebagai berikut:
1cm................"grade'0
1-2cm.................. grade" 1
2-3cm.................. grade"2
3-4cm................ grade"3
 lebih4cm........... grade"4.
Biasanya pada "grade" 3 dan 4 batas atas dari prostat tidak dapat diraba. Bila prostat besar sekali ("grade"3 dan 4), orang lebih suka memilih prostatektomi terbuka secara trans vesikal.
"Clinical grading".
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urin. Pada pagi hari setelah pasien bangun, disuruh kencing sampai selesai. Kemudian dimasukkan ke kateter dalam buli-buli mengukur sisa urin.
Sisa urin 0 cc........................................ normal
Sisa urin 0-50 cc...................................grade" 1
Sisa urin 50-150 cc...............................grade"2
Sisa urin lebih dari 150cc.....................grade"3
Sama sekali tak sisa kencing................grade"4
"Intra Urethral Grading'
Melihat berapa jauh penonjolan lobus lateral kedalam lumen uretra. Penguluran ini hanya dapat dilihat dengan penendoskopi dan sudah menjadi bidang dari urologi yang khusus

B.     PEMERIKASAAN PENUNJANG

1.      Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus  diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA<4mg antigen="" bila="" biopsi.="" dengan="" density="" dibagi="" hitunglah="" mg="" ml="" nilai="" perlu="" prostat.="" prostat="" psa="" psad="" sedangkan="" serum="" spa4-10="" spesific="" tidak="" volume="" yaitu="">_0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila dinilai PSA > l Omg/ml.
2.      Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
a.       Dari foto polos dapat silihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
b.      Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok­belok di vesika).
c.       Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-bulu.(Arif Mansjoer,2000, 332)
3.      Pamerikasaan Diagnostik
a.       Urinalisa, CoklAt gelap, lerah gelap,atau terang (berdarah);
b.      Penampil`n keruh pH 7 atau lebih besar (menunjukaninfeKsI): "akteri,SDP,SDM mungkun adA qecara makro3kopis.
c.       Kultur urine; dapat menunjukan stapilococcus aureus,protesus, Klebsiella, atau Escerishia coli.
d.      Sitologi urine; untuk mengesampimgkan kandung kemih.
e.       BUN/Kreatinin; meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi.
f.       Asam fosfat serum/antigen khusus prostatik; meningkatkan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang).
g.      Penentuan kecepatan aliran urine; mengkaji derajat obtruksi kandung kemih.
h.      IVP dengan film pasca berkemih; menunjukan pasca perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaranprostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
i.        Sistogram; mengukur tekanan dan volume dalam kandumg kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH
j.        Sistouretrografi: untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi) pada adanya ISK akut sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif).
k.      Sistometri: mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal; mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi yang tak sehubungan dengan BPH

C.    PATHWAY

Proses penuaan (aging)
Ketidakseimbangan produksi testosterone estrogen
 
Faktor Resiko
 
C. PATHWAY

Rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul: “Asuhan Keperawatan Hiperplasi Prosta Benigna (BPH)”.
Penyusunan laporan ini adalah rangkaian dari Ujian Akhir Komprehensif  ajukan untuk diujikan dalam ujian sidang. Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari sempurna.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai piha, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada ;
  1. Bapak Abu Su’ud selaku Rektor UNIMUS
  2. Bapak Edy Soesanto, Skp selaku Dekan FIKKES UNIMUS
  3. Bapak M. Fatkhul Mubin, Skp selaku kaprodi D III Keperawatan
  4. Bapak Edy Wuryanto, Skp selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberi saran
  5. Bapak / Ibu Dosen pengajar atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan
  6. Bapak, Ibu dan adik tercinta yang telah memberikan dorongan moril dan materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini
  7. Rekan-rekan mahasiswa D III Keperawatan angkatan 2003, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini, penulis banyak mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda, Amin.
Karena keterbatasan, penulis yakin bahwa laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangannya. Untuk itu demi kelengkapan dan kesempurnaan laporan ini, penulis mengharap dengan sangat himbauan dan sran serta kritik yang membangun dari pembaca. Dan sebelumnya penulis ucapkan terima kasih.
Semarang, juli 2006
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi usia lanjut, dengan bertambahnya usia akan menjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90  tahun 100%. Prevalensi meningkat sejalan dengan peningkatan usia pada pria dan insidebn di negara berkembang meningkat karena adanya peningkatan umur harapan hidup (Mansjoer, 2000)
Pada tahap awal penderita dengan pembesaran kelenjar prostat dapat mengalami kesulitan berkemih, hal ini dapat disebabkan karena adanya penekanan pada uretra sehingga menimbulkan penyempitan bahkan penutupan saluran kemih. Gejala yang bisa terlihat pada pasien mulai adanya  nyeri pada saat berkemih, sering kencing tapi hanya menetes, bahkan dapat terjadi retensi urine dimana pasien tidak dapat berkemih lagi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka kan terjadi komplikasi, diantaranya hidroureter, hidroneprosisi bahkan gagal ginjal (Samsuhidayat, 1998)
Mengingat besarnya resiko pada penderita dengan pembesaran prostat maka penting sekali untuk dilakukan operasi.

 
 
 









































D.    DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Gangguan rasa nyaman nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; rileks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doenges,1999)
2.      Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan praoperasi (Doenges,1999).
3.      Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal bekuan darah edema trauma prosedur bedah (Doenges,1999).
4.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif; alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan insisi bedah (Doenges,1999).

E.     INTERVENSI

Intervensi Keperawatan menurut (Doenges,1999:362)   

 1. Dx 1

Tujuan             : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang atau terkontrol.
            Kriteria hasil    : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Menunjukan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu
 Tampak rileks, tidur/istirahat dengan tenang.














Mandiri
                    i.Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
intervensi.
                        ii.      Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
Rasional : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan peris-skrotal.
                      iii.      Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
Rasional : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama retensi akut. Namun, dini dapat memperbaiki pola normal dan menghilangkan nyeri kolik.
                      iv.      Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi/latihan napas dalam, aktifitas terapeutik.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat kemampuan koping.
                        v.      Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot.
Kolaborasi
                      vi.      Masukan kateter dan dan dekatkan untuk kelancaran drainase.
Rasional : Pengaliran kandung kemih menurunkantegangan dan kepekaan kelenjar.
2.  Dx 2
Tujuan          : Setelah dilakukan tindakan keperawatan volume cairan dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab, dan keluaran urine tepat.
Menunjukkan tak ada perdarahan aktif.
Mandiri
a.       Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : Gerakan/penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
b.      Awasi pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkali haluaran urine.
c.       Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan/berlanjut
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam perytama tetapi perlu pendekatan perienal. Perdarahan kontinu/berat berulangnya perdarahan aktif memerlukan intrvensi evaluasi medik.
d.      Evaluasi warna, konsistensi urine
Merah terang dengan bekuan merah
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : Menunjukkan perdarahan dan vena (perdarahan yang paling umum) biasanya berkurang sendiri.
Perdarahan dengan tak ada bekuan
Rasional : Dapat mengindikasikan diskrasia darah
e.       Inspeksi balutan/draine. Timbang balutan bila diindikasikan. Perhatikan pembentukan hematoma
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
f.       Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, perlambatan pengisian kapiler, dan membran mukosa kering.
Rasional : Degidrasi/hipovolemi memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok. Catatan: hipertensi, bredikardia, mual/muntah, menunjukkkan "sindrom TURP," memerlukan intervensi medik segera.
g.      Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
Rasional : Dapat menunjukkan penurunas perfusi serebral (hipovolemi) atau indikasi edema serebral karena berlebihan cairan selama prosedur TUR ("sindrom TURP").
h.      Dorong pemasukan cairan 3000 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional :  Membilas ginjal/kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengalibatkan intoksikasi cairan/kelebihan cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
i.        Hindari pengukuran suhu rektal dan menggunakan selang rektal/enema.
Rasional : Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dassar prostat dan peningkatan tekanan kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
           Kolaborasi
j.        Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb/Ht, jumlah sel darah merah;
Rasional : Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
3.   Dx 3
Tujuan          : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat berkemih dengan normal.
Kriteria hasil : Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi. Menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih/urinaria.
Mandiri
a.       Kaji haluaran urine dan system kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
Rasional : Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung  kemih.
b.      Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh: berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan ras normalitas.
c.       Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi.
Rasional : Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretrhal dan kehilangan tonus.
d.      Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protokol.
Rasional : Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
e.       Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.
Rasional : Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung ke3mih membaik.
f.       Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah kateter dilepas.
Rasional : Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine,penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
g.      Intruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
Rasional : Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/spingter/urine, meminimalkan inkontinensia.
h.      Anjurkan pasien bahwa "penetesan" diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
Rasional : Informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perienal.
Kolaborasi
i.        Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu (continous bladder irrigation [CBI] sesuai indikasi pada periode pascaoperasi dini.
Rasional : Mencuci kandung kemih dan bekuan darah dan debris untuk memperrtahankan patensi kateter/aliran urine.
4.   Dx 4
Tujuan          : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil : Mencapai waktu penyembuhan. Tak mengalami tanda infeksi.
Mandiri
a.       Pertahankan system kateter steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri infeksi/sepsisi lanjut.
b.      Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi, dan pernapasan cepat, gelisah,peka„disorientasi.
Rasional : Pasien yang mengalami sistoskopi dan/atau TUR prostat beresiko untuk syok
c.       Observasi drainase dari luka, dari luka sekitar kateter suprapubik.
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
d.      Ganti balutan denggan sering (insisi supra/retropubik dan perienal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.


e.       Gunakan pelindung kulit tipe ostomi.
Rasional : Memberikan perlindungan untuk sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan risiko infeksi.
           Kolaborasi
f.       Berikan antibiotik sesuai Indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara prolifaktik sehubungan dengan peningkatan risiko infeksi pada prostatektomi.

DAFTAR PUSTAKA

William F, Ganong.2002.BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN.Alih Bahasa, Djauhari Widjajakusumah.Edsisi 20.EGC.Jakarata
Barabara, Engram.1998.RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH.Alih Bahasa, Suharyati Samba.Volume 3.EGC.Jakarta
J.C.E, Underwod.1999.PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIS.Alih Bahasa, Sarjadi.Edisi 2.EGC.Jakarta