ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI
(
BPH )
Diajukan Untuk memenuhi Persyaratan
Dalam menyelesaikan pendidikan Dipoloma III Keperawatan
Disusun oleh
Madu Nur Dyah Ayu
G01.2003.01657
PROGRAM
STUDI DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SEMARANG
2006
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis ilmhah dengAn jedul “ASUHANKEPERAWATAN
BENIGNA PROSTATHIPERPLASI ” telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji
KaryA Tudis Ilmiah fakultas Ilmu KepErawata
Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang
Pada tanggal
……………….
Tim Penguji
Ns.Tri Nur Hidayati, S.Kep
……………….
Tri Hartiti, SKM.MKes
……………….
HALAMAN PERSETUJUAN
Karya Tulis ilmiah dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI ” telah dipertahankan
dihadapan Tim Penguji
Karya Tulis Ilmiah fakultas Ilmu Keperawata
dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang
Pada tanggal
……………….
Pembimbing
Ns.Tri Nur Hidayati, S.Kep
.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
yang berjudul: “Asuhan Keperawatan Hiperplasi Prostat Benigna (BPH)”.
Penyusunan laporan ini adalah rangkaian dari Ujian Akhir
Komprehensif ajukan untuk diujikan dalam
ujian sidang. Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari akan keterbatasan
kemampuan, pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan laporan ini masih
banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari sempurna.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada ;
- Bapak Abu Su’ud selaku Rektor UNIMUS
- Bapak Edy Soesanto, Skp selaku Dekan FIKKES UNIMUS
- Bapak M. Fatkhul Mubin, Skp selaku kaprodi D III Keperawatan
- Ibu Tri NurHidayati,S.Kep banyak membimbing dan memberi saran
- Bapak / Ibu Dosen pengajar atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan
- Bapak, Ibu dan adik tercinta yang telah memberikan dorongan moril dan materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini
-
iv
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan ini, penulis banyak mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT
memberikan balasan yang berlipat ganda, Amin.
Karena keterbatasan, penulis yakin bahwa laporan ini masih banyak
kekeliruan dan kekurangannya. Untuk itu demi kelengkapan dan kesempurnaan
laporan ini, penulis mengharap dengan sangat himbauan dan saran serta kritik
yang membangun dari pembaca. Dan sebelumnya penulis ucapkan terima kasih.
Semarang,
juli 2006
Penulis,
DAFTAR ISI
|
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka
morbiditas yang bermakna pada populasi usia lanjut, dengan bertambahnya usia
akan menjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen. Berdasarkan angka
autopsi perubahan mikroskopik pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50
tahun angka kejadiannya sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100%. Prevalensi meningkat sejalan
dengan peningkatan usia pada pria dan insidebn di negara berkembang meningkat
karena adanya peningkatan umur harapan hidup (Mansjoer, 2000)
Pada tahap awal penderita dengan pembesaran
kelenjar prostat dapat mengalami kesulitan berkemih, hal ini dapat disebabkan
karena adanya penekanan pada uretra sehingga menimbulkan penyempitan bahkan
penutupan saluran kemih. Gejala yang bisa terlihat pada pasien mulai adanya nyeri pada saat berkemih, sering kencing tapi
hanya menetes, bahkan dapat terjadi retensi urine dimana pasien tidak dapat
berkemih lagi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka kan terjadi
komplikasi, diantaranya hidroureter, hidroneprosisi bahkan gagal ginjal
(Samsuhidayat, 1998)
Mengingat besarnya resiko pada penderita
dengan pembesaran prostat maka penting sekali untuk dilakukan operasi.
BAB I
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
Hyperplasia Prostat Benigna adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostate (secara umum pada pria
lebih tua dari 50 Th) menyebabkan berbagai derajat obtruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius. (Doenges, 2000, 671). ( BPH adalah
pembesaran glandula dan jaringan selular kelenjar prostat yang berhubungan
dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan, kelenjar
prostat mengitari kandung kemih dan uretra sehingga pembesaran prostat
sering kali menghalangi penggosongan kandung kemih.( Tucker,1998: 605 )
Hyperplasia Prostat Benigna ( BPH ) adalah kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang
keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium
uretra. Dan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60
tahun. ( Brunner and Suddarth, 1996:167 )Prostatektomi dan reseksi
bedah bagian prostat yang memotong uretra untuk memperbaiki aliaran urin
dan menghilangkan retensi urinaria akut.
( Doenges, 1999: 679 )
B.
Anatomi
Struktur reproduksi pria terdiri dari
penis, testis, jamak testis dalam kantong skrotum,sistem duktus yang
terdiri dari epididmis,
kavernosum. Ujung distal penis , dikenal
sebagai glans, ditutupi oleh prepusium ( kulup ). Prepusium
dapat dilepas dengan pembedahan ( sirkumsisi
, sunat )
( Price,1992: 1146 ).
Testis terdiri dari sejumlah besar tubulus
seminiferus yang berkelok-kelok, tempat sperma dibentuk. Sperma kemudian
dikosongkan ke dalam epididimis, dan kemudian menuju ke vas deferens,
yang membesar pada ampula vas deferens segera sebelum masuk ke
badan kelenjar prostat. Vesika seminalis, masing-masing terletak di
tiap sisi-sisi prostat, bermuara dalam ujung prostatik ampula, serta isi dari
kedua ampula dan vesika seminalis berjalan masuk duktus ejakulatorius
yang masuk ke dalam badan kelenjar prostat untuk bermuara kedalam uretra
interna. Duktus prostatikus selanjutnya bermuara ke dalam duktus
ejakulatorius. Akhirnya uretra merupakan penghubung terakhir ke
luar. Uretra di suplai dengan mukus yang berasal dari banyak kelenjar
Littre kecil, yang terletak sepanjang uretra dan juga dari kelenjar bulbouretralis
besar bilateral yang terletak dekat pangkal uretra.
C. Fisiologi
Kelenjar prostat mengsekeresi cairan
alkali yang encer, seperti susu, yang mengandung asam sitrat, kalsium, asam
phosfat, enzim pembekuan , dan fibrinolisin. Selama pemancaran kapsula
kelenjar prostat berkontraksi serentak dengan kontraksi vas deferens dan
vesika seminalis sehingga cairan keprostat yang encer, seperti susu
menambah masa semen. Sifat alkali cairan prostat mungkin sangat penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum,
karena cairan
C. ETIOLOGI
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat factor resiko umur
dan hormone androgen. Perubahan microskopik pada prostate telah terjadi pada
usia 30-40 Th bila perubahan mickroskopik ini berkembang akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pria 50 Th.angka kejadiannya sekitar 50% usia 80 Th
sekitar 80% dan usia 90 Th adalah 100%.
Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat
terhadap androgen. Kelenjar prostate bagian Peri-uretra atau central yang
responsive terhadap hormone estrogen akan mengalami hiperplasia.
D. ANATOMI
Gambar melukiskan berbagai bagian sistem reproduksi pria.
Testis terdiri dari sejumlah besar tubulus seminiferus yang berkelok-kelok,
tempat sperma dibentuk. Sperma kemudian dikosongkan ke dalam epididimis, dan
kemudian menuju ke vas deferens, yang membesar pada ampula vas deferens segera
sebelum masuk ke badan kelenjar prostat. Vesika seminalis, masing-masing
terletak di tiap sisi-sisi prostat, bermuara dalam ujung prostatik ampula,
serta isi dari kedua ampula dan vesika seminalis berjalan masuk duktus
ejakulatorius yang masuk ke dalam badan kelenjar prostat untuk bermuara kedalam
uretra interna. Duktus prostatikus selanjutnya bermuara ke dalam duktus ejakulatorius.
Akhirnya uretra merupakan penghubung terakhir ke luar. Uretra di suplai dengan
mukus yang berasal dari banyak kelenjar Littre kecil, yang terletak sepanjang
uretra dan juga dari kelenjar bulbouretralis besar bilateral yang terletak
dekat pangkal uretra.
Sistem Reproduksi Pria
Silvia A. Price, 1995
E. FISIOLOGI
Fungsi
reproduksi pria dapat dibagi dalam tiga subgolongan utama:
1.
spermatogenesis yang hanya berarti
pembentukan sperma.
2.
pelaksanaan kerja seksual pria
3.
pengaturan fungsi seksual pria oleh
berbagai hormon
Yang berhubungan dengan fungsi
reproduksi ini adalah efek hormon seks pria pada organ seks tambahan, pada
metabolisme sel, pada pertumbuhan, pada fungsi tubuh lain.
1.
Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi pada semua tubulus seminiferus selama
kehidupan seks aktif, muali rata-rata pada usia 13 tahun, sebagai akibat
perangsangan oleh hormon-hormon gonadrotopin adenohipofisis dan terus
berlangsung selama hidup.
Langkah-langkah spermatogenesis:
Stadium pertama spermatogenesis adalah pertumbuhan beberapa spermatogonia
menjadi sel yang sangat besar yang dinamakan spermatosit. Kemudian spermatosit
membelah dengan proses mieosis (di sini tidak ada pembentukan kromosom baru
baru, kromosok hanya pemisah pasangan kromosom) membentuk dua spermatosit,
masing-masing mengandung 23 kromosom. Spermatid tidak membelah lagi tetapi
menjadi spermatozoa.
Kromosom seks, pada setiap spermatogonium,salah satu dari 23 kromosom
membawa informasi genetik yang menentukan seks dari turunan akhir. Pasangan ini
terdiri dari satu kromosom "X", yang dinamakan kromosom wanita dan
satu kromosom "Y", kromosom pria. Selama pembelahan mitosis, kromosom
penentu seks dibagi di antara spermatid sehingga separoh sperma pria yang
mengandung kromosom "Y" dan setengah lainnya sperma wanita yang
mengandung kromosom "X". Kelamin dari keturunan ditentukan oleh jenis
sperma mana yang mengadakan fertilisasi pada ovum.
Pembentukan sperma. Bila spermatid pertama kali dibentuk, mereka masih
mempunyai sifat umum sel epitolid, tetapi segera sebagian besar sitoplasmanya
menghilang, dan setiap spermatid mulai menjang menjadi spermatozoa. Di depan
kepala sperma terdapat stuktur kecil yang dinamakan akrosom, yang dibentuk dari
aparatus Golgi serta mengandung hialuronidase dan protease yang memegang
peranan penting untuk masuknya sperma ke dalam ovum.
Sentriol mengelompok pada leher sperma dan mitokondria tersusun berbentuk
spiral dalam badan. Yang menonjol keluar tubuh adalah ekor panjang, yang
merupakan pertumbuhan keluar dari salah satu sentriol. Ekor hampir mempunyai
struktur yang hampir sama seperti silia.
Fungsi sel sertoli. Sel sertoli dari
epitel germinativum, yang dikenal sebagai sel sustentakular. Sel ini meluas
dari basis epitel tubulus seminiferus sampai bagian dalam tubulus. Spermatid meletakkan
dirinya pada sel sertoli, dan timbul hubungan spesifik antara dua sel ini yang menyebabkan
sperrmatid berunah menjadi spermatozoa. Sel-sel sertoli memberikan zat gizi,
hormon dan mungkin juga enzim yang penting untuk menyebabkan perubahan yang tepat
pada spermatid. Sel-sel sertoli juga membuang kelebihan sitoplasma sewaktu
spermatid dikonversi menjadi spermatozoa.
Pematangan Sperma pada Epidisimis.
Setelah pembentukan pada tubulus seminiferus, sperma masuk epididimis. Akan
tetapi setelah sperma masuk epididimis selam 18 jam sampai 10 hari, mereka
mengembangkan kemampuan bergerak walaupun beberapa faktor penghambat masih
mencegah motilitas sampai setelah ejakulasi. Sperma juga mampu membuahi ovum,
suatu proses yang dinamkan pematangan.
Penyimpanan Sperma pada Epididimis.
Sejumlah kecil sperma dapat disimpan
dalam epididimis, tetapi sebagian besar sperma disimpan dalam vas deferens dan
dalam arti luas dalam ampula vas deferens. Sperma tetap dapat disimpan,
mempertahankan fertilitasnya dalam tempat ini selama beberapa bulan.
Fisiologi Sperma matang.
Sperma yang biasanya mortil dan fertil
yang mampu melakukan pergerakan dengan menggunakan flagel melalui media cair
dengan kecepatan sekitar l sampai 4 mm.per menit. Walaupun
sperma dapat hidup selama berminggu-minggu pada saluran genetalia testis, masa
hidup sperma di dalam traktus genetalia wanita hanya satu sampai empat hari.
2.
Fungsi Vesika Seminalis
Vesika seminalis atau kandung mani merupakan kelenjar sekresi yang
dibatasi oleh epitel yang menyekresi zat mukoid yang mengandung benyak zat gizi
lain maupunprostaglandin, dan fibrinogen. Prostaglandin dianggap membantu
fertilisasi dalam dua jalan:
1). Dengan bereaksi dengan mukus serviks
agar menjadi lebih reseptif bagi sperma,
2). Mungkin menyebabkan kontraksi
peristaltik dalam arah terbalik pada uterus dan tuba fallopii, untuk
menggerakkan sperma ke arah ovarium (beberapa sperma mencapai ujung atas tuba
fallopii dalam lima menit).
3.
Fungsi Kelenjar Prosat
Kelenjar prostat menyekresi cairan alkali, seperti susu, yang mengandung
asam sitrat, kalsium, dan beberapa zat lain. Selama pemancaran, kapsula
kelenjar prostat berkontraksi serentak dengan kontraksi vas deferens dan vesika
seminalis sehingga cairan kelenjar prostat yang encer seperti susu menambah
massa semen. Sifat alkali cairan prostat mungkin sangat penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam karena
adanya hasil akhir metabolisme sperma dan, akibatnya, menghambat fertilitasi
dan motilitas sperma. Sekret vagina pada wanita juga asam (pH 3,5 sampai 4,0).
Sperma tidak dapat bergerak optimum sampai pH cairan sekitarnya meningkat
sekitar 6 sampai 6,5. Akibatnya mungkin cairan prostat menetralkan keasaman
cairan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan
fertilisasi sperma.
4.
Semen
Semen yang diejakulasikan pria waktu melakukan hubungan seks, terdiri
dari cairan vas deferens, sesika seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar
mukosa, khususunya kelenjar bukbouretralis. Masa semen yang utama adalah cairan
vesika seminalis (sekitar 60), yang diejakulasikan terakhir dan berperanan
membarsihkan sperma keluar dari duktus ejakulatorius dan uretra. pH rata-rata
semen gabungan sekitar 7,5, cairan prostat yang alkali menetralkan bagian semen
lain yang agak asam. Walaupun sperma dapat hidup selama berminggu-minggu pada
saluran genetalia pria, sekali ia diejakulasika dalam semen, maksimumnya hanya
24 sampai 72 _jam pada suhu tubuh. Akan tetapi, pada suhu yang lebih rendah,
semen bisa disimpan selam abeberapa minggu dan bila semen dibukakan pada suhu
dibawah -1000 C, spermas beberapa binatang telah diawetkan lebih dari satu
tahun.
Efek jumlah sperma pada fertilitas. Biasanya jumlah semen yang
diejakulasikan pada setiap kali koitus rata-rata sekitar 3,5 ml, dan pada
setiap mililiter semen rata-rata terdapat sekitar 120 juta sperma, walaupun
pada orang normal jumlah ini dapat bervariasi dari 35 juta sampai 200 400 juta
sperma biasanya terdapat pada setiap juta. Bahwa rata-rata ejakulat.
5.
Fungsi Hormonal
Hormon yang berperan dalam sistem reproduksi adalah Testosteron dan
hormon seks pria lainnya.
Sekresi testosteron oleh sel intertisial Testis. Testis hormo seks pria,
yang bersama-sama dinamai di antaranya, testosteron, jauh lebih banyak serta
dapat di anggap merupakan satu bertanggung jawab akan efek hormonal pria.
Testosteron, di bentuk oleh sel intertisial Leydig yang terletak intertisial
antara tubulis seminiferus. Selanjutnya bila timbul tumordari sel leydig, maka
testosteron disekresikan dalam jumlah besar sekali.
Fungsi
Testosteron:
Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab untuk membedakan sifat
maskulinasasi tubuh. Testis dirangsang oleh gonadotropin korionik plasenta
untuk menghasilkan sedikit testosteron waktu kehidupan fetal, tetapi pada
hakekatnya, tidak ada testosteron yang dihasilkan waktu anakanak sampai
sekitar usia 10 samoai 13. Kemudian pembentukn testosteron meningkat cepat pada
pubertas dan berlangsung hampir mensekresi beberapa androgen. Tetapi salah satu
dan kuat dari pada lainnya hormon bermakna yang pada seluruh kehidupan,
berkurang cepat setelah usia 40 tahun sampai mungkin menjadi satu perlima nilai
puncak menjelang usia 80 tahun.
a.
Fungsi testosteron waktu perkembangan fetus.
Testosteron mulai dikeluarkan oleh pria sekitar bulan
kedua kehidupan embrional. Tentu saja, ahli embriologi yakin bahwa perbedaan
fungsional utama antara kromosom seks pria dan wanita adalah bahwa kromosom
pria menyebabkan rigi-rigi genital yang baru berkembang mengsekresi
testosteron, sedangkan kromosom wanita menyebabkan rigi-rigi ini mengsekresi
estrogen.
D. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan -
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi perlahan - lahan.
Tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikal. Fase penebalan detrusor
ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan mengalami dekompensasi tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun
patofisiologi dari masing - masing gejala adalah:
1.
Penurunan kekuatan dan aliran yang
disebabkan resistansi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH
2.
Resitancy terjadi karena detrusor tidak dapat melawan resistensi uretra.
3.
Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra sampai akhir miksi. Terminasi dribbling dan rasa belum puas
sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4.
Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap
miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5.
Frekuensi terutama terjadi pada malam
hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus
stinger dan uretra berkurang dan tonusspingter dan uretra berkurang
selama tidur.
6.
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
7.
Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin
keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan
spingter.
( Mansjoer, 2000, 329).
E. Etiologi
Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH ) belum jelas
namun terdapat faktor resiko umur dan homon androgen ( Mansyur, 2000:
329 ). Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
- estrogen , karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipos di perifer,
berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. ( Sjamsuhidayat, 1998:
1059 )
Penyebab kelainan ini tidak diketahui
dengan jelas, tapi kini di duga akibat pengaruh hormon, antara lain androgen
dan estrogen. Dehidrotestosteron, sebuah metabolik biologi aktif testosteron
diduga merupakan mediator pokok hiperplasia. Diduga bahwa estrogen
berakibat jaringan prostat peka terhadap dampak pengalakan pertumbuhan oleh dihirotestosteron.(Stanley,
1987: 361 )
F. MANIFESTASI KLINIK
Biasanya gejala - gejala pembesaran prostat jinak, dikenal
sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif
dan obstruktif.
Gejala Iritatif yaitu sering miksi (frekuensi). Terbangun
untuk miksi pada malam hari (nokturia) sedangkan gejala obstruktif adalah
pancaran melemah. Rasa tidak lampias sehabis miksi. Kalau mau miksi harus
menungu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing terputus - putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine
dan inkontinen karena overflow. Geja(a dan tanda pasien yang telah lanjut
penyakitnya dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi,
respirasi, foctor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda - tanda
penurunan mental serta neuropati perifer.
(Arief
Mansjoer, 2000, 330)
Kandung kemih yang teraba pada pemeriksaan abdomen dan
tekanan supra pubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin
berkemih.Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rektal untuk menilai besarnya
kelenjar. Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau
tidak adanya aliran kemih, dan ini memelukan reseksi bedah pada prostat.
Ada dua
faktor utama yang mempengaruhi terjadinya gejala obstruksi, yaitu:
1.
Nodul hiperplastik menekan dan
memanjangkan uretra prostatika yang akan mengganggu fungsinya.
2.
Ikut sertanya zona peri-uretra pada
meatus uretra interna yang menggaggu mekanisme spinter.
Retensi urin akut dapat terjadi pada pria yang sebelumnya
mempunyai gejala protatism; vesika urinaria teraba membesar dan lunak, dan
diperlukan tindakan kateterisasi. Keadaan ini dapat ditibulkan akibat menahan
kencing untuk waktu yang lama, atau oleh infark yang terjadi yang menyebabkan
pembesaran yang tiba-tiba dari nadul hiperplastik. Retensi urin kronis, relatif
tidak begitu sakit. Ditemukan jumlah yang meningkat disertai kencing yang tidak
bisa dikontrol biasanya pada malam hari. Vesika Urinaria menegang sering teraba
sampai daerah umbilikus, tetapi tidak lunak karena peregangan terjadi lebih
perlahan.
(J.C.E Underwood, 2000, 612).
G. KOMPLIKASI
Obstruksi yang berkelanjutan dari aliran keluar
vesika urinaria menyebabkan terjadinya hipertropi yang bertahap dari otot
vesika urinaria. Trabekulasi dinding urinaria terbentuk akibat serabut pronimen
dari otot polos yang menebal di mana diantaranya dapat terjadi penonjolan divertikulum.
Mekanisme kompensasi seperti ini sering mengalami kegagalan, yang menyebabkan
terjadinya dilatasi vesika urinaria. Ureter secara bertahap akan mengalami
dilatsi (hidroureter) menyebabkan pengembalian urine; bila tidak diobati, akan
terjadi hidronefrosis, disertai dilatasi pelvis renalis dan kalises.
Akibat vesika gagal melakukan pengosongan secara
penuh sehabis kencing, sedikit urine tersisa dan tertinggal didalam vesika
urinaria. Sisa urine ini memungkinkan untuk terjadinya infeksi, biasanya oleh
organisme koliform. Sistitis yang terjadi biasamya ditandai dengan nyeri pada
waktu kencing disertai kencing yang meningkat dan hernaturia. Sending infeksi
pada kejadian obstruksi traktus urinarius dapat mengakibatkan terjadinya
pielonefritis dan gangguan fungsi gin jal. Infeksi yang berulang-ulang
merupakan predisposisi terjadinya batu dalam vesika urinaria yang sering
mengandunh fosfat. Septikemia sering terjadi sebagai komplikasi pie
lonefritis.(Underwood,J.C.E,2000,612).
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid.
H. PENATALAKSANAAN
a.
Observasi (watcfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan . Nasehat yang
diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolistik), mengurangi minum kopi
dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
b.
Terapi Medikamentosa
i.
Menghambat adrenergik a
Obat-obatan yang sering dipakai adalh prazosin, doxazosin,
afluzosin, atau yang lebih selektif a 1a (tamsulosin). Efek samping yang
mungkin adalah pusing-pusing (dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa
lemah.
ii.
Penghambat enzim 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proskar) dengan
dosis 1 x5 mg/hr. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil. Salah satu efek samping dari obat ini
adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA (masking
effect).
iii.
Fitoterapi
Pengobatan fitoterapi di Indonesia antara lain adalah
eviprodtat. Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw Palmetto, Serenoa
repeus, dll. Efeknya diharapkan setelah pemberian selama 1-2 bulan.
c.
Terapi Bedah
Prostatektomi adalah pengangkatan kelenjar prostat sebagian atau
seluruhnya. Ada empat cara pembedahan prostatektomi, masing-masing dengan hasil
yang berbeda:
1.
Transuretrhal Resection Of Prostat (TURP)
a.
Jaringan abnormal diangkat melalui
rektoskop yang dimasukan melalui uretra.
b.
Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c.
Dibutuhkan kateter Foley setelah operasi.
2.
Prostatektomi Suprapubis
a.
Penyayatan perut bagian bawah dibuat
melalui leher kandung kemih.
b.
Diperlukan perban luka, drainase, kateter
foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
3.
Prostatektomi Neuropubis
a.
Penyayatan dibuat pada perut bagian
bawah.
b.
Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c.
Diperlukan balutan luka, kateter foley,
dan drainase.
4.
Prostatektomi Perineal
a.
Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan
anus.
b.
digunakan jika diperlukan prostatektomi
radikal.
c.
Vasektomi biasanya dilakukan sebagai
pencegahan epididimistis,
d.
Persiapan buang hajt diperlukan sebelum
operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e.
Setelah operasi balutan perineal dan
pengeringan luka (drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam
duduk.
Pada
TURP, prostatektomi surapubis dan retropubis , potensi hasilnya dapat meliputi:
1.
inkontinensi urinarius temporer
2.
Pengosongan urin yang keruh setelah
hubungnan intim dan kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) diseabkan oleh
ejakulasi dini kedalam kandung kemih
Waktu
untuk penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
1.
Retensio urin berulang
2.
Hematuria
3.
Tanda penurunan fungsi ginjal
4.
Infeksi saluran kemih berulang
5.
Tanda-tanda obstruksi berta yaitu
divertikel, hisroureter, dan hidronefrosis.
6.
Ada batu saluran kemih.
Jenis
pengobatan ini paling tinggi efektifitasannya. Intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi Transurethral Resection Of The Prostate (TUR P),
Transurethral Insision Of The Prostate (TUIP), Prostatektomi dengan laser
dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
TUR P
merupakan standar emas. Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat,
volume prostat kurang dari 90g dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremi, (TUR P), atau
retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
stritur uretra , ejakulasi retrograd (5090%), atau impotensi (4-40%). Bila
volume prostat tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika atau
prostat fibrotik dapat dilakukan Transurethral Incision Of The Prostat (TUIP).
Indikasi TUIP adalah keluhan sedang atau bera, dengan volume prostat
normal/kecil.Komplikasinya bisa ejakulasi retrograd (0-37%). Karena pembedahan
tidak mengobati penyebab BPH maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali
8-10 tahun kemudian.
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A.
Pengkajian data dasar
Riwayat atau adanya
faktor-faktor yang memerlukan pembedahan.
a.
Benigna prostat
hipertropi (BPH) berkenaan dengan penyumbatan aliran.
b.
Kanker prostate.
- Kaji catatan medis untuk hasil-hasil:pemeriksaan rectal jari,
sekeras batu batu, tidak teratur,
prostate yang tidak lunak ada masa atau keras, membesar, kelenjar yang
lunak (benigna).
- Tanyakan tentang kesulitan dalam berkemih. Lihat bukti: penyumbatan
saluran uretra yang diakibatkan pembesaran kelenjar prostate.
a.
ada penetesan setelah berkemih.
b.
keengganan.
c.
penyempitan aliran urine.
d.
sering kencing tetapi dalam jumlah sedikit.
e.
nokturia (gejala awal paling umum).
Gejala tambahan dapat meliputi:
a.
Sakit punggung bagian bawah (konsistensi dengan
keadaan yang parah).
b.
Hematuria (disebabkan oleh sobekan pembuluh darah
kecil dari peregangan yang berlebihan
pada kandung kemih atau infeksi).
c.
Infeksi saluran kencing (rasa terbakar, keruh,
berbau busuk).
- Pemeriksaan diagnostic:
- Biopsi untuk membedakan pertumbuhan adanya keganasan atau tidak.
- Asam fosfat serum akan meningkat jika adanya keganasan.
- Alkalin fosfat serum akan meningkat jika ada metastase tulang.
- Lakukan scan (tulang,paru-paru, hati) untuk memeriksa metastasis
jika biopsy positif terhadap keadaan yang parah.
- Lakukan sinar X pada kenjal pada ginjal, saluran kencing dan kemih
dapat menimbulkan hidroureter,
hidronefrosis, pielonefritis dengan penyumbatan yang parah.
- analisis pada urine dapat menunjukkan adanya bakteriuria, SDP, atau nanah jika terdapat infeksi. Menurut Doengos ( 1999 )
- Sirkulasi
Tanda
: Peninggian TD (efek pembesaran ginjal).
- Eliminasi
Gejala
:
a.
Peurunan kekuatan/dorongan
aliran urine; tetesan.
b.
Keragu-raguan pada berkemih
awal.
c.
Ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih.
d. Nokturia,disuria,hematuria.
e.
Infeksi Saluran Kemih berulang,
riwayat batu (stasis urinaria).
f.
Konstipasi (protusi prostate
kedalam rectum).
Tanda
:
a.
Masa padat dibawah abdomen
bawah (distensi kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih.
b.
Hernia inguinalis; hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekana abdominal yang memerlukan
pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan.
- Makanan/cairan
Gejala:
a.
Anoreksia; mual, muntah.
b.
Penurunan berat badan.
- Nyeri/kenyamanan
Gejala:
a.
nyeri suprapubis,
panggul, atau punggung: tajam, kuat (pada prostates akut).
b.
nyeri punggung bawah.
- Keamanan
Gejala:
a. demam.
- Seksualitas
Gejala:
a.
masalah tentang efek
kondisi/terapi pada kemampuam seksual.
b.
takut inkontinensia.
c.
penurunan kekuatan aksi
ejakulasi.
Tanda:
a. pembesaran, nyeri tekan
prostat.
- Penyuluhan /Pembelajaran
Gejala:
a.
riwayat keluarga kanker, hipertensi,
penyakit ginjal.
b.
penggunaan antihipertensif
atau anti depresan, anti biotic.
c.
urinaria atau agen anti biotic,
obat yang dijual bebas untuk.
d.
flu/alergi obat mengandung simpatomimetik.
- Pemeriksaan fisik
Untuk mengukur besarnya hipertropi prostat dapat dipakai berbagai ukuran,
yaitu:
1.
"Rectal grading"
2.
"Clinical grading"
3.
"Intra uretral grading"
"Rectal
grading"
Dengan "rectal toucher" diperkirakan beberapa sentimeter
prostat menonjol kedalam lumen dari rectum. "Rectal toucher"
sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh, dapat dibuat
kesalahan. Gradasi ini adalah sebagai berikut:
1cm................"grade'0
1-2cm..................
grade" 1
2-3cm..................
grade"2
3-4cm................
grade"3
lebih4cm........... grade"4.
Biasanya pada "grade" 3 dan 4 batas atas dari prostat tidak
dapat diraba. Bila prostat besar sekali ("grade"3 dan 4), orang lebih
suka memilih prostatektomi terbuka secara trans vesikal.
"Clinical
grading".
Pada
pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urin. Pada pagi hari
setelah pasien bangun, disuruh kencing sampai selesai. Kemudian dimasukkan ke
kateter dalam buli-buli mengukur sisa urin.
Sisa
urin 0 cc........................................ normal
Sisa
urin 0-50 cc...................................grade" 1
Sisa
urin 50-150 cc...............................grade"2
Sisa
urin lebih dari 150cc.....................grade"3
Sama
sekali tak sisa kencing................grade"4
"Intra
Urethral Grading'
Melihat berapa jauh penonjolan lobus lateral kedalam lumen uretra.
Penguluran ini hanya dapat dilihat dengan penendoskopi dan sudah menjadi bidang
dari urologi yang khusus
B. PEMERIKASAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan
mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan
infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit,
kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan
status metabolik. Pemeriksaan prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
SPA<4mg antigen="" bila="" biopsi.="" dengan="" density="" dibagi="" hitunglah="" mg="" ml="" nilai="" perlu="" prostat.="" prostat="" psa="" psad="" sedangkan="" serum="" spa4-10="" spesific="" tidak="" volume="" yaitu="">_0,15 maka sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila dinilai PSA > l Omg/ml. 4mg>
2.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH,
menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan mencari
kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan
BPH.
Dari
semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
a.
Dari foto polos dapat silihat adanya batu
pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
b.
Dari pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook
appearance (gambaran ureter belokbelok di vesika).
c.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya
prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-bulu.(Arif Mansjoer,2000, 332)
3.
Pamerikasaan Diagnostik
a.
Urinalisa, CoklAt gelap, lerah gelap,atau
terang (berdarah);
b.
Penampil`n keruh pH 7 atau lebih besar
(menunjukaninfeKsI): "akteri,SDP,SDM mungkun adA qecara makro3kopis.
c. Kultur urine; dapat menunjukan stapilococcus aureus,protesus, Klebsiella,
atau Escerishia coli.
d.
Sitologi urine; untuk mengesampimgkan
kandung kemih.
e.
BUN/Kreatinin; meningkatkan bila fungsi
ginjal dipengaruhi.
f.
Asam fosfat serum/antigen khusus
prostatik; meningkatkan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada
kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang).
g.
Penentuan kecepatan aliran urine;
mengkaji derajat obtruksi kandung kemih.
h.
IVP dengan film pasca berkemih;
menunjukan pasca perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat
obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaranprostat, divertikuli kandung kemih
dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
i.
Sistogram; mengukur tekanan dan volume
dalam kandumg kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan
dengan BPH
j.
Sistouretrografi: untuk menggambarkan
derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi)
pada adanya ISK akut sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif).
k.
Sistometri: mengevaluasi fungsi otot
detrusor dan tonusnya.
Ultrasound
transrektal; mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi
yang tak sehubungan dengan BPH
C. PATHWAY
|
|
|
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri (akut)
berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; rileks spasme otot sehubungan
dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi)
(Doenges,1999)
2.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan
berhubungan dengan area bedah vaskuler kesulitan mengontrol perdarahan,
pembatasan pemasukan praoperasi (Doenges,1999).
3.
Perubahan eliminasi urine berhubungan
dengan obstruksi mekanikal bekuan darah edema trauma prosedur bedah
(Doenges,1999).
4.
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif; alat selama pembedahan, kateter, irigasi
kandung kemih sering, trauma jaringan insisi bedah (Doenges,1999).
E. INTERVENSI
Intervensi
Keperawatan menurut (Doenges,1999:362)
1. Dx 1
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang
atau terkontrol.
Kriteria hasil : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Menunjukan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu
Tampak rileks, tidur/istirahat dengan tenang.
Mandiri
i.Kaji
nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional
: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
intervensi.
ii.
Plester
selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak
diperlukan).
Rasional : Mencegah
penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan peris-skrotal.
iii.
Pertahankan
tirah baring bila diindikasikan.
Rasional : Tirah baring
mungkin diperlukan pada awal selama retensi akut. Namun, dini dapat memperbaiki
pola normal dan menghilangkan nyeri kolik.
iv.
Berikan
tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi
yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi/latihan napas dalam, aktifitas
terapeutik.
Rasional : Meningkatkan
relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat kemampuan koping.
v.
Dorong
menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.
Rasional : Meningkatkan
relaksasi otot.
Kolaborasi
vi.
Masukan
kateter dan dan dekatkan untuk kelancaran drainase.
Rasional : Pengaliran
kandung kemih menurunkantegangan dan kepekaan kelenjar.
2. Dx 2
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan volume cairan dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil : Mempertahankan
hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba
pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab, dan keluaran urine tepat.
Menunjukkan
tak ada perdarahan aktif.
Mandiri
a. Benamkan kateter, hindari manipulasi
berlebihan.
Rasional : Gerakan/penarikan
kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada
distensi kandung kemih.
b.
Awasi pemasukan dan
pengeluaran.
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan
penggantian. Pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan
darah dan secara akurat mengkali haluaran urine.
c.
Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan
berlebihan/berlanjut
Rasional
: Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam perytama tetapi perlu pendekatan
perienal. Perdarahan kontinu/berat berulangnya perdarahan aktif memerlukan
intrvensi evaluasi medik.
d.
Evaluasi warna, konsistensi urine
Merah
terang dengan bekuan merah
Rasional
: Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
Peningkatan
viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional
: Menunjukkan perdarahan dan vena (perdarahan yang paling umum) biasanya
berkurang sendiri.
Perdarahan
dengan tak ada bekuan
Rasional
: Dapat mengindikasikan diskrasia darah
e.
Inspeksi balutan/draine. Timbang balutan bila diindikasikan.
Perhatikan pembentukan hematoma
Rasional
: Perdarahan dapat dibuktikan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
f.
Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, perlambatan pengisian
kapiler, dan membran mukosa kering.
Rasional
: Degidrasi/hipovolemi memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke
syok. Catatan: hipertensi, bredikardia, mual/muntah, menunjukkkan "sindrom
TURP," memerlukan intervensi medik segera.
g.
Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
Rasional
: Dapat menunjukkan penurunas perfusi serebral (hipovolemi) atau indikasi edema
serebral karena berlebihan cairan selama prosedur TUR ("sindrom
TURP").
h.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional
: Membilas ginjal/kandung kemih dari
bakteri dan debris tetapi dapat mengalibatkan intoksikasi cairan/kelebihan
cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
i.
Hindari pengukuran suhu rektal
dan menggunakan selang rektal/enema.
Rasional
: Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap
dassar prostat dan peningkatan tekanan kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
Kolaborasi
j.
Awasi pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi, contoh: Hb/Ht, jumlah sel darah merah;
Rasional : Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
3. Dx
3
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan pasien dapat berkemih dengan normal.
Kriteria hasil : Berkemih dengan
jumlah normal tanpa retensi. Menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol
kandung kemih/urinaria.
Mandiri
a. Kaji haluaran urine dan system kateter/drainase, khususnya selama
irigasi kandung kemih.
Rasional : Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan
darah, dan spasme kandung kemih.
b. Bantu pasien memilih posisi normal untuk
berkemih, contoh: berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering
setelah kateter dilepas
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan ras
normalitas.
c.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi.
Rasional : Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut
menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretrhal dan kehilangan
tonus.
d.
Dorong pasien
untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per
protokol.
Rasional : Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine. Keterbatasan
berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih
dan membantu latihan ulang kandung kemih.
e.
Ukur volume residu bila ada kateter
suprapubik.
Rasional : Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih
dari 50 ml menunjukan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung ke3mih
membaik.
f. Dorong pemasukan
cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah kateter
dilepas.
Rasional : Mempertahankan hidrasi
adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine,“penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
g. Intruksikan pasien
untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai
aliran urine.
Rasional : Membantu meningkatkan kontrol
kandung kemih/spingter/urine, meminimalkan inkontinensia.
h. Anjurkan pasien bahwa
"penetesan" diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi
sesuai kemajuan.
Rasional : Informasi membantu pasien
untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi
memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perienal.
Kolaborasi
i.
Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu (continous bladder
irrigation [CBI] sesuai indikasi pada periode pascaoperasi dini.
Rasional : Mencuci kandung kemih dan
bekuan darah dan debris untuk memperrtahankan patensi kateter/aliran urine.
4. Dx
4
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil : Mencapai waktu penyembuhan. Tak mengalami tanda infeksi.
Mandiri
a. Pertahankan
system kateter steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik
disekitar sisi kateter.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri
infeksi/sepsisi lanjut.
b. Awasi tanda
vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi, dan pernapasan cepat,
gelisah,peka„disorientasi.
Rasional : Pasien yang mengalami
sistoskopi dan/atau TUR prostat beresiko untuk syok
c.
Observasi drainase dari luka, dari luka sekitar kateter
suprapubik.
Rasional : Adanya drain, insisi
suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan
eritema, drainase purulen.
d. Ganti balutan denggan sering (insisi supra/retropubik
dan perienal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan
kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan
resiko infeksi luka.
e. Gunakan pelindung kulit tipe ostomi.
Rasional : Memberikan perlindungan untuk
sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan risiko infeksi.
Kolaborasi
f. Berikan antibiotik sesuai Indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara
prolifaktik sehubungan dengan peningkatan risiko infeksi pada prostatektomi.
DAFTAR PUSTAKA
William F,
Ganong.2002.BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN.Alih Bahasa, Djauhari
Widjajakusumah.Edsisi 20.EGC.Jakarata
Barabara,
Engram.1998.RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH.Alih Bahasa,
Suharyati Samba.Volume 3.EGC.Jakarta
J.C.E,
Underwod.1999.PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIS.Alih Bahasa, Sarjadi.Edisi
2.EGC.Jakarta