ASUHAN KEPERAWATAN
DEHIDRASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekurangan volume
cairan terjadi jika air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama
ketika mereka berada dalam cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum
terhadap air tetap sama. Hal ini seharusnya tidak dikacaukan dengan istilah
dehidrasi yang mengacu pada semata-mata hilangnya air dengan peningkatan kadar
natrium serum FVD mungkin timbul sendiri atau dalam kombinasi dengan
ketidakseimbangan yang lain kecuali ketidakseimbangan yang timbul bersama, sama
konsentrasi elektrolit serum tetap tidak berubah.
Kekurangan volume cairan terjadi akibat hilngnya
cairan tubuh dan lebih cepat terjadi jika disatukan dengan penurunan masukan
cairan FVD mungkin terjadi semata-mata akibat masukan yang tidak adekuat jika
penurunan masukan berlangsung lama. Kekurangan cairan yang tidak normal bisa
terjadi akibat muntah-muntah, diare, berkeringat dan penurunan masukan seperti
pada adanya mual atau ketidakmampuan untuk memperoleh cairan.
Banyak masalah yang mungkin terjadi akibat kurangnya cairan adalah intake yang berkurang dan output yang berlebihan yang berupa muntah, diare, perdarahan. dalam hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah kekurngan volume cairan. Maka dari itu kami membuat asuhan keperawatan tentnag dehidrasi yang kelihatannya sepele padahal sangat berbahaya
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
gambaran secara umum tentang dehidrasi yang meliputi pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik dan penatalaksanaan.
2. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dehidrasi.
3. Mengetahui permasalahan yang timbul pada pasien dehididrasi dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan.
C. Ruang Lingkup
Pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode studi kepustakaan yang merupakan metode pegumpulan data yang mempelajari berbagai sumber buku dan yang berkaitan dengan dehidrasi. Studi pustaka berguna untuk mengenal konsep dan teori untuk kemudian menjadi acuan dalam melaksanakan implementasi.
D. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang,
tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Konsep Dasar dehidrasi meliputi :
pengertian, etiologi / predisposisi, patofisiologi, manifestasi klinik,
penatalaksanaan, pengkajian fokus, pathway keperawatan, fokus intervensi dan
rasional.
BAB III Penutup,
terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB IV Daftar Pustaka.
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian dan Klasifikasi
Berikut
adalah beberapa pengertian tentang dehidrasi :
1.
Dehidrasi
adalah keadaan dimana seseorang invididu yang tidak menjalani puasa mengalmai
atau beresiko mengalmai dehidrasi vaskuler, interstitial atau intra vaskuler
(Lynda Jual Carpenito, 2000 : 139).
2.
Dehidrasi
adalah kekurangan cairan tubuh karena jumlah cairan yang keluar lebih banyak
dari pada jumlah cairan yang masuk (Sri Ayu Ambarwati, 2003).
3.
Dehidrasi
adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang disertai dengan output
yang melebihi intaks sehingga jumlah air dalam tubuh berkurang (Drs.
Syaifuddin, 1992 : 3).
4.
Dehidrasi
adalah kehilangan cairan tubuh isotik yang disertai kehilangan antrium dan air
dalam jumlah yang relatif sama. (Sylvia A. Price, 1994 : 303)
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bawha dehidrasi adalah
kekurangan cairan ekstra selular yang mengakibatkan berpindahnya cairan atau
hilang dari tubuh.
Klasifikasi
dehidrasi menurut Donna D. Ignatavicus ada 3 jenis :
a.
Dehidrasi
Isotonik
Dehidrasi
isotonik adalah air yang hilang diikuti dengan elektrolit sehingga kepekatannya
tetap normal, maka jenis dehidrasi ini biasnaya tidak mengakibatkan cairan ECF
berpindah ke ICF.
b.
Dehidrasi
Hipotonik
Dehidrasi
hipotonik adalah kehilangan pelarut dari ECF melebihi kehilangan cairan,
sehingga dipembuluh darah menjadi lebih pekat. Tekanan osmotik ECF menurun
mengakibatkan cairan bergerak dari EFC ke ICF. Volume vaskuler juga menurun
serta terjadi pembengkakan sel.
c.
Dehidrasi
Hipertonik
Dehidrasi hipertonik adalah kehilangan cairan ECF melebihi pelarut pada dehidrasi ini non osmotik ECF menurun, mengakibatkan cairan bergerak dari ICF ke ECF.
B. Etiologi
Bermacam-macam
penyebab dehidrasi menentukan tipe / jenis-jenis dehidrasi (Menurut Donna D.
Ignatavicus, 1991 : 253).
1.
Dehidrasi
a.
Perdarahan
b.
Muntah
c.
Diare
d.
Hipersalivasi
e.
Fistula
f.
Ileustomy (pemotongan usus)
g.
Diaporesis (keringat berlebihan)
h.
Luka bakar
i.
Puasa
j.
Terapi hipotonik
k.
Suction gastrointestinal (cuci lambung)
2.
Dehidrasi hipotonik
a.
Penyakit DM
b.
Rehidrasi cairan berlebih
c.
Mal nutrisi berat dan kronis
3.
Dehidrasi hipertonik
a.
Hiperventilasi
b.
Diare air
c.
Diabetes Insipedusà hormon ADH menurun
d.
Rehidrasi cairan berlebihan
e.
Disfagia
f.
Gangguan rasa haus
g.
Gangguan kesadaran
h.
Infeksi sistemik : suhu tubuh meningkat.
C. Patofisiologi
Kekurangan
volume cairan adalah keadaan yang umum terjadi pada berbagai keadaan dalam klinik.
Keadaan ini hampir selalu berkaitan dengan kehilangan cairan tubuh melalui
ginjal atau di luar ginjal. Penyebab tersering kekurangan volume cairan yang
juda sering terjadi adalah tersimpannya cairan pada cidera jaringan luna, luka
bakar berat, peritonitis / obstruksi saluran cerna. Terkumpulnya cairan di
adlam ruang non ECF dan non ECF. Pada prinsipnya cairan menjadi terperangkapdan
tidak dapat dipakai oleh tubuh. Penumpulkan volume cairan yang cepat dan banyak
pada ruang-ruang seperti beradal dari volume ECF sehingga dapta mengurangi
volume sirkulasi darah efektif.
Perdarahan,
muntah, diare, keringat adalah cairan hipotonik yang terdiri dari ari, Na
(30-70 m Eg/l) dan klorida. Selama latihan berat pada lingkungan yang panas,
bisa terjadi kehilagnan 1 L keringat / jam. Sehingga dapat menyebabkan
kekurangan volume jika asupannya tidak mencukupi. Jumlah besar cairan dapat
hilang melalui kulit karna penguapan jika luka bakar dirawat dengan metode
terbuka.
Kehilangan
Na dan air melalui ginjal tanpa adanya penyakit ginjal terjadi pada 3 keadaan
yang paling sering adalah pemakaian diuretik yang berlebihan, terutama tiazid
atau diuretik sampai yang kuat seperti furosemid. Diuresis osmotik obligatorik
juga sering menyebabkan kehilangan Na dan air yang terjadi selama glikosuria
pada DM yang tidak terkontrol atau koma hipermosmolar non ketonik pada kasus
pemberian makanan tinggi protein secara enternal atau parenteral dapat
terbentuk urea dalam jumlah besar yang bisa bertindak sebagai agen osmotik.
Apapun
penyebab dari kekurangan volume cairan, berkurangnya volume ECF menganggu curah
jantung dengan mengurangi alir balik vene ke jantung sehingga mengakibatkan
penurunan curah jantung. Karena tekanan arteri rata-rata = curah x tahanan
perifer total maka penurunan curah jantung mengakibatkan hipotensi. Penurunan
tekanan darah dideteksi oleh baroreseptor pada jantung dan arteri karotis dan
diteruskan ke pusat vasomotor di batang otak, yang kemudian menginduksi respon
simpatis. Respon berupa vasokonstriksi perifer, peningkatan denyut dan
kontraktilitas jantung bertujuan untuk mengembalikan curah jantung dan perfusi
jarignan yang normal.
Penurunan
perfusi ginjal merangsang mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Angiotensin
merangsang vasokonstriksi sistemik dan aldosteron meningkatkan reabsorbsi
natrium oleh ginjal.
Jika terjadi hipovolemi yang lebih berat (1000 ml) maka vasokontriksi dan vasokonstriksi yang diperantai oleh angiotensin II yang meningkat. Terjadi penahanan aliran darah yang menuju ginjal, saluran cerna, otot dan kulit, sedangkan aliran yang menuju koroner dan otak relatif dipertahankan.
D. Manifestasi Klinis
Berikut
ini gejala atau tanda dehidrasi berdasarkan tingkatannya (Nelson, 2000) :
1.
Dehidrasi
ringan (kehilangan cairan 2-5% dari BB semula)
a.
Haus, gelisah
b.
Denyut nadi
90-110 x/menit, nafas normal
c.
Turgor kulit
normal
d.
Pengeluaran
urine (1300 ml/hari)
e.
Kesadaran baik
f.
Denyut jantung
meningkat
2.
Dehidrasi
sedang (kehilangan cairan 5% dari BB semula)
a.
Haus meningkat
b.
Nadi cepat dan
lemah
c.
Turgor kulit
kering, membran mukosa kering
d.
Pengeluaran
urien berkurang
e. Suhu tubuh meningkat
3.
Dehidrasi berat
(kehilangan cairan 8% dari BB semula)
a.
Penurunan
kesadaran
b.
Lemah, lesu
c.
Takikardi
d.
Mata cekung
e.
Pengeluaran
urine tidak ada
f.
Hipotensi
g.
Nadi cepat dan
halus
h. Ekstremitas dingin
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
pada penderita dehidrasi (Doenges & Sylvia Anderson):
1.
Obat-obatan
Antiemetik
Untuk mengatasi
muntah
2.
Obat-obatan
anti diare
Pengeluaran feces
yang berlebihan dapat diberikan obat-obat anti diare serta dapat diberikan
oralit.
3.
Pemberian air
minum
Pemberian air
minum yang mengandung natrium cukup memadai untuk mengatasi ketidakseimbangan
yang terjadi.
4.
Pemberian
cairan intravena
Pada kekurangan cairan yang berat, maka diperlukan pemberian cairan intravena. Larutan garam isotonik (0,9%) merupakan cairan infus terpilih untuk kasus-kasus dengan kadar natrium mendekati normal, karena akan menambah volume plasma. Segera setelah pasien mencapai normotensi, separuh dari larutan garam normal (0,45%) diberikan untuk menyediakan air bagi sel-sel dan membantu pembuangan produk-produk sisa metabolisme.
5.
Pemberian bolus
cairan IV
Pemberian bolus cairan IV awal dalam suatu uji beban cairan, untuk mengetahui apakah aliran kemih akan meningkat, yang menunjukkan fungsi ginjal normal.
F. Pengkajian Fokus
1.
Demografi
Jenis kelamin : dehidrasi rentan terjadi pada wanita dari
pada pria.
Umur : sering terjadi pada usia di
atas 65 tahun.
2.
Riwayat
Kesehatan
a.
Riwayat
penyakit dahulu
1)
Fistula
2)
Ileustomy
3)
Suction
gastrointestinal
4)
DM
5)
Diabetes
insipedus
6)
Perdarahan
b.
Pemeliharaan
kesehatan
1)
Diet rendah
garam
2)
Pemasukan
cairan kurang terpenuhi
c.
Pola cairan
Gejala : haus berkurang, cairan kurang
Tanda : BB menurun melebihi 2-8% dari BB semula,
membran mukosa mulut kering, lidah kotor.
d.
Pemeriksaan
fisik
1)
Kesadaran : apatis-coma
2)
Tekanan darah
menurun
-
Nadi meningkat
-
Pernafasan
cepat dan dalam
-
Suhu meningkat
pada waktu awal
3)
BB meningkat
4)
Turgor menurun
5)
Membran mukosa
mulut kering
6)
CVP menurun
e.
Pemeriksaan
penunjang
Laboratorium
1)
Urine
a)
Osmolalilas
kemih > 450 m osmol / kg
b)
Natrium urine
< 10 meg / L (penyebab di luar ginjal)
c)
Natirum urine
> 10 meg / L (penyebab pada ginjal / adrenal)
d)
OJ urine
meningkat
e)
Jumlah urine
menurun (30-50 cc / jam)
2)
Darah
a)
Ht meningkat
b)
Kadar protein serum
meningkat
c)
Na+ seruim
normal
d)
Rasio buru /
kreatin serum > 20 : 1 (N = 10 : 1)
e)
Glukosa serum :
normal / meningkat
f)
Hb menurun.
H. Konsep Keperawatan
1.
Diangosa
Keperawatan
a.
Defisit volume
cairan berhubungan dengan output yang berlebihan intake yang kurang.
b.
Resiko
penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah.
c.
Resiko gangguan
integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit menurun.
d.
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Resiko penurunan COP berhubungan dengan penurunan tahanan vaskuler sistemik.
2.
Fokus
Intervensi dan Rasional
a.
Defisit volume
cairan berhubungan dengan output yang berlebihan intake yang kurang (Doenges,
1999)
Tujuan : Volume
cairan adekuat sehingga kekurangan volume cairan dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1)
Mempertahankan
keseimbangan cairan
2)
Tanda vital (N
= 80 – 100 x/menit, S = 36-37oC
3)
Capillary
refill < 3 detik
4)
Akral hangat
5)
Urine output
1-2 cc/kg BB/jam
Intervensi
:
1)
Awasi tanda
vital, pengisian kapiler, status membran mukosa, turgor
Rasional : Indikator
keadekuatan volume sirkulasi, hipotensi data terjadi dengan resiko cedera
setelah perubahan posisi.
2)
Awasi jumlah
dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.
Rasional : Pasien
tidak mengkonsumsi cairan sama sekali mengakibatkan dehidrasi atau mengganti
cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada keseimbangan elektrolit.
3)
Diskusikan
strategi untuk menghentikan muntah dan penggunaan jaksatif / diuratik
Rasional : Membantu
pasien menerima perasaan bahwa akibat muntah dan / atau penggunaan laksatif /
deuratik mencegah kehilangan lebih lanjut.
4)
Identifikasi
rencana untuk meningkatkan / mempertahankan keseimbangan cairan optimal. Misal
: jadwal masukan cairan.
Rasional : Melibatkan
pasien dalam rencana untuk memperbaiki ketidakseimbangan.
5)
Kaji hasil tes
fungsi elektrolit / ginjal
Rasional : Perpindahan
cairan / elektrolit, penurunan fungsi ginjal dapat meluas mempengaruhi
penyembuhan.
6)
Berikan / awasi
pemberian cairan IV
Rasional : Tindakan
darurat untuk memperbaiki ketidak-seimbangan cairan.
7)
Tambahan
kalium, oral atau N sesuai indikasi
Rasional : Dapat mencegah disritmia jantung.
b.
Resiko
penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah.
Tujuan : Mempertahankan
/ memperbaiki perfusi jaringan.
Kriteria hasil :
1)
Tanda-tanda
vital stabil TD = 120/80, Nadi = 80-100 h, kulit tidak pucat.
2)
Kulit hangat
3)
Nadi perifer
teraba
4)
Keluaran urine
adekuat 0,5 – 1,5 cc / kg / BB
5)
CRT < 2
detik.
6)
Kesadaran
composmentis
7)
Tidak ada nyeri
dada
Intervensi
:
1)
Selidiki
perubahan tingkat kesadaran, keluhan pusing.
Rasional : Perubahan dapat
menunjukkan ketidakadekuatan perfusi serebral sebagai akibat tekanan darah
arterial.
2)
Selidiki
keluhan nyeri dada, catat lokasi, kualitas, lamanya dan apa yang menghilangkan
nyeri.
Rasional : Dapat menunjukkan
iskemia jantung sehubungan dengan penurunan perfusi.
3)
Auskultasi nadi
apikal, awasi kecepatan jantung / irama.
Rasional : Perubahan disritmia
dan iskemi dapat terjadi sebagai akiabt hipotensi, hipoksia, ketiseimbangan
elektrolit atau pendinginan dekat area jantung bila lavase air dingin digunakan
untuk mengontrol perdarahan.
4)
Kaji kulit
terhadap dingin, pucat, berkeringat, pengisian kapiler lambat dan nadi perifer
lemah lemah.
Rasional : Vasokontriksi adalah
respon simpatis terhadap penurunan volume sirkulasi dan / atau terjadi sebagai
efek samping pemberian vasopresin.
5)
Catat haluran
urine dan BJ
Rasional : Penurunan perfusi
ginjal dimanifestasikan sistemik dapat menyebabkan iskemia/gagal dengan
penurunan keluaran urine.
6)
Observasi kulit
pucat, kemerahan, pijat dengan minyak, ubah posisi dengan sering.
Rasional : Gangguan pada
sirkulasi perifer meningkatkan resiko kerusakan kulit.
7)
Awasi nadi
oksimetri
Rasional : Mengindentifikasi
hipoksemia, kefektifan / kebutuhan untuk terapi.
8)
Berikan cairan
IV sesuai indikasi
Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi. Penggunaan RL di kontraindikasikan pada adanya gagal hati karena metabolisme laktat terganggu.
c.
Resiko gangguan
integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit menurun.
Tujuan : Mengindentifikasi
dan mempertahankan kulit halus, kenyal, utuh.
Kriteria hasil :
1)
Turgor kulit
baik, kulit utuh, tidak ada lecet, tidak ada kemerahan.
Intervensi
:
1)
Observasi
kemerahan, pucat.
Rasional : Area ini meningkat
resikonya untuk kerusakan dan memerlukan pengobatan lebih intensif.
2)
Dorong mandi
tiap 2 hari 1 x
Rasional : Sering mandi membuat
kulit kering.
3)
Gunakan krim
kulit 2 x sehari
Rasional : Melicinkan sirkulasi
pada kulit, meningkatkan tonus kulit.
4)
Diskusikan
pentingnya perubahan posisi, perlu untuk mempertahankan aktifitas.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi
dan perfusi kulit dengan mencegah tekanan lama pada jaringa.
5)
Tekankan
pentingnya masukan nutrisi / cairan adekuat.
Rasional : Perbaikan nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondisi klien.
d.
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : Pasien
diharapkan mampu meningkatkan toleransi aktifitas.
Kriteria hasil :
1)
Peningkatan
kekuatan otot berhubungan dengan tidak diaporesis.
Intervensi
:
1)
Tingkatkan
tirah baring / duduk. Berikan lingkungan tenang.
Rasional : Meningkatkan istirahat
dan ketenganan, menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan.
2)
Lakukan tugas
dengan cepat dan sesuai indikasi
Rasional : Memungkinkan periode
tambahan istirahat tanpa gangguan.
3)
Tingkatkan
aktifitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan rentang gerak sendi pasif /
aktif.
Rasional : Tirah baring lama
dapat menurunkan kemampuan.
4)
Periksa tanda
vital sebelum dan segera aktifitas khususnya penggunaan diuren.
Rasional : Hipotensi ortostatik
dapat terjadi dengan aktifitas.
5)
Kaji ulang
tanda / gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktifitas atau
memerlukan pelaporan pada perawat / dokter.
Rasional : Palpitasi nadi tak teratur dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program olah raga atau obat.
e.
Resiko
penurunan COP berhubungan dengan penurunan vaskuler sistemik.
Tujuan : Mempertahankan
curah jantung.
Kriteria hasil :
1)
Tidak ada bunyi
jantung tambahan, tidak ada perubahan EKG.
Intervensi
:
1)
Auskultasi
bunyi jantung dan paru
Rasional : Takipnea, frekuensi
jantugn tak teratur menunjukkan GGK.
2)
Evaluasi bunyi
jantung, TD, nadi perifer, pengisian kapiler, suhu.
Rasional : Hipotensi tiba-tiba,
nadi paradoksik, penyempitan tekanan nadi, penurunan nadi perifer, pucat,
penyimpangan mental cepat menunjukkan tamponade, yang merupakan kedaruratan
medik.
3)
Kaji tingkat
aktifitas, respon terhadap aktifitas
Rasional : Kelelahan dapat
menyertai anemia.
4)
Awasi
pemeriksaan lab, contoh : eletkrolit (kalium, natrium, kalsium, magnesium).
Rasional : Ketidakseimbagnan
dapat mengganggu kondisi elektrikal dan fx jantung.
5)
Catat warna
kulit dan kualitas nadi
Rasional : Sirkulasi perifer
menurun bila curah jantung menurun membuat kulit pucat dan menurunnya kekuatan
nadi perifer.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dehidrasi dapat menyerang siapa saja dari anak kecil
hingga orang tua dan yang paling sering terkena adalah anak-anak dan orang tua.
2.
Dehidrasi lebih mudah menyerang perempuan dibandingkan
laki-laki karena tubuh perempuan lebih banyak lemak dari pada laki-laki.
3.
Dehidrasi bisa pula berujung pada penurunan kesadaran
hingga meninggal dunia.
B.
Saran
1.
Pantau masukan dan haluran cairan.
2.
Anjurkan minum 15 menit sekali pada seseorang yang
bersiko mengalami dehidrasi.
3.
Agar dehidrasi tidak berujung pada kematian maka
perawat harus mengukur balance cairan, agar output tidak melebihi input. Kaji
tingkat kesadaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Ambarwati, Sri Ayu. 2001. http://www.kompas.com/kesadaran/0307/14/103451
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Diagnosa Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. jakarta : EGC.
Ignatavicus, Donna D. Bayne, Marylin Varner. 1991. Medical
Surgical Nursing, WB Saunders Company Inc.
Prince, Sylive A. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzzone, C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Tarwoto. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : Salemba Merdeka.
No comments:
Post a Comment
trimakasih atas kritik dan sarannnya....