BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ginjal
punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ
pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh
tubuh seperti urea, fosfor, dan sebagainya. Sebgai organ non eksresi ginjal
berperan sebagai penghasil hormon tertentu, pengatur asam basa tubuh, pengatur
keseimbangan ion tubuh dan sebagainya. Sehingga secara tidak langsung ginjal
berfungsi sebagai pengatur homeostasis tubuh (Syaifuddin, 2006).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic
Kidney Disease (CKD) adalah penyakit ginjal tahap akhir sebagai
penyimpangan progresif fungsi ginjal
yang tidak dapat pulih. Sebagai akibatnya tubuh tidak mampu untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan elektrolit yang mengakibatkan
uremia atau retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Baughman, 2001).
Diseluruh
dunia menurut NKF 26 juta orang dewasa Amerika telah mengalami CKD, dan jutaan
orang lain akan meningkatkan resiko. Perhimpunan nefrologi indonesia menunjukkan
12,5 persen dari penduduk indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal, itu
berarti secara kasar lebih dari 25 juta penduduk mengalami CKD. Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan perhimpunan nefrologi indonesia, di Semarang
ditemukan bahwa kasus Chronic Kidney
Disease pada bulan januari hingga juli 2009 sebanyak 232 kasus (Kidney Organizazion, 2011).
Berbagai sebab penyakit CKD antara lain adalah
glomerulo nefritis kronis, ginjal polikistik, kelainan vaskuler, obstruksi
saluran kemih, penyakit ginjal skunder akibat penyakit sistemik seperti
diabetes, infeksi, obat-obatan, preparat toksik, preparat lingkungan seperti
timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Berbagai sebab tersebut pada akhirnya
dapat merusak ginjal atau menurunkan fungsi ginjal. Pada akhirnya dapat
menunjukkan berbagai gejala-gejala klinis seperti hipertensi, gagal jatung
kongestif, gatal-gatal atau pruritis, anoreksia, mual, muntah, perubahan
tingkat kesadaran, oedema,
turgor jelek (Baughman, 2000).
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita CKD
baik pada organ lain maupun keseimbangan hormon. Komplikasi yang terjadi pada
organ lain seperti pada jantung, dimana dapat terjadi hipertensi karena naiknya
tekanan jantung dan gagal jantung kongestif. Komplikasi lain seperti pada
paru-paru dapat terjadi infeksi paru atau oedema pulmonal. Sedangkan pada
keseimbangan hormon dapat terjadi berkurangnya hormon eritropoetin yang
mengakibatkan terjadinya pemendekan umur dari eritrosit yang memicu terjadinya
anemia berat. Karena kerusakan ginjal pengaturan kalsium dalam tubuh jadi tidak
normal yang mengakibatkan terjadinya penyakit tulang (Suwitra, 2006).
Penyakit
CKD merupakan penyakit yang memerlukan perawatan dan penanganan seumur hidup.
Fenomena yang terjadi banyak klien yang keluar masuk Rumah Sakit untuk
melakukan pengobatan dan dialisis. Oleh karena itu peran perawat sangat penting
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien CKD, serta diharapkan tidak
hanya terhadap keadaan fisik klien tetapi juga psikologis klien. Berdasarkan
hal tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah tentang
asuhan keperawatan dengan Chronic Kidney
Disease sebagai pemenuhan tugas akhir.
B.
TUJUAN
PENULISAN
1. Tujuan
Umum
Penulis dapat memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan CKD.
2. Tujuan
Khusus
a.
Mampu menguasai konsep dasar tentang
penyakit CKD.
b.
Mampu melakukan pengkajian, menganalisa,
menentukan diagnosa keperawatan, membuat intervensi keperawatan, mampu
melakukan perawatan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang sudah diberikan.
c.
Mampu memberikan tindakan keperawatan
yang diharapkan dapat mengatasi masalah keperawatan pada kasus tersebut.
d.
Mampu mengungkapkan faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung serta permasalahan yang muncul dari asuhan keperawatan
yang diberikan.
C. METODE PENULISAN
Penyusunan karya tulis ini
menggunakan metode deskriptif naratif untuk memudahkan dalam mengetahui
gambaran tentang Chronic Kidney Disease (CKD).
Dalam pelaksanaannya penulis melakukan studi kasus dengan proses keperawatan,
sedangkan teknik pengumpulan data meliputi :
1. Studi
kepustakaan dari buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah Chronic Kidney Disease.
2. Studi
dokumenter dengan menggunakan catatan medik atau cacatan keperawatan pada klien
Chronic Kidney Disease.
3. Wawancara
langsung pada klien dan keluarga klien.
4. Observasi
dan partisipasi aktif dengan merawat
klien di rumah sakit.
5. Dokumentasi
hasil asuhan keperawatan pada pasien CKD.
D.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai penyusunan karya tulis
ini maka akan diuraikan secara singkat dalam bentuk per bab. Karya tulis ini
disusun dalam 5 bab yaitu :
Bab I Pendahuluan,
yaitu meliputi latar belakang, tujuan, metode dan teknik penulisan /
pengumpulan data, sistematika penulisannya.
Bab II
Konsep Dasar, meliputi pengertian, stadium gagal ginjal, anatomi dan fisiologi,
etiologi dan predisposisi, patofisiologi, manifestasi klinik, penatalaksanaan,
komplikasi, pengkajian fokus, pathways keperawatan, fokus intervensi dan
rasional.
Bab III
Tinjauan Kasus, meliputi pengkajian, analisa data, pathways keperawatan kasus,
diagnosa keperawatan, nursing care plan (NCP), implementasi dan evaluasi.
Bab IV
Pembahasan.
Bab V
Penutup, meliputi kesimpulan dan saran.
BAB
II
KONSEP
DASAR
A.
PNGERTIAN
Berikut ini adalah pengertian
tentang CKD menurut beberapa ahli dan sumber diantaranya adalah :
1. Chronic Kidney Disease
(CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah
(Smeltzer dan Bare, 2001).
2. CKD
adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan dapat
disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea,
Panggabean, dan Gultom, 2005)
Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal yang tidak
dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala. CKD adalah
penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan oleh berbagai hal. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
elektrolit, yang menyebabkan uremia.
B.
TAHAPAN
PENYAKIT CKD
Menurut Suwitra (2006)
dan Kydney Organizazion (2007)
tahapan CKD dapat ditunjukan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai
berikut :
a.
Tahap I adalah
kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90 ml/menit/1,73 m2.
b.
Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan
penurunan LFG ringan yaitu 60-89 ml/menit/1,73 m2.
c.
Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan
LFG sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m2.
d.
Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan
penurunan LFG berat yaitu 15- 29 ml/menit/1,73 m2.
e.
Tahap V adalah gagal
ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
C.
ANATOMI
DAN FISIOLOGI
1. Anatomi
Berikut ini adalah
struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson (2006) :
Ginjal terletak pada
dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal, disebelah kanan dan kiri
tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal dibelakang pritonium.
Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian
vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal kanan
sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.
Gambar 2.1
Anatomi ginjal tampak dari depan.
Sumber
: digiboxnet.wordpress.com
Setiap ginjal
panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya antara 1,5
sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram.
Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap ketulang
belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal semuanya
masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar
suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis
dan jaringan fibrus yang membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus
serta didalamnya terdapat setruktur-setruktur ginjal. Setruktur ginjal warnanya
ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar, dan medulla disebelah
dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang berbentuk piramid,
yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir
di kalies, kalies akan menghubungkan dengan pelvis ginjal.
Gambar 2.2
Potongan vertikal ginjal.
Sumber : adamimage.com
Setruktur mikroskopik ginjal tersusun
atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan
ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai
berkas kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung
atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus.
Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu
terdapat sebuah simpai yang disebut simpai henle.
Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan
tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Gambar 2.3.
Bagian
microscopic ginjal
Sumber : adamimage.com
Selain
tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul
didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai
arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang membentuk jaring
kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung
lagi untuk membentuk
vena renalis, yang membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar
dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih
lama disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal
tersebut.
2. Fisiologi.
Dibawah
ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut
Syaeifudin (2006).
a. Fungsi
ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai
peranan penting dalam sistem organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi
kerja organ lain dan sistem lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting
yaitu sebagi organ ekresi dan non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja
sebagai filtran senyawa yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti
urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga
sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan
elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang
mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin
aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum
tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon
dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion
kalsium dalam usus.
b. Peroses
pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa
arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat
yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga
tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006) :
1. Proses
filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini
terjadi karena proses aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke
tubulus ginjal.
2. Proses
reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian
besar dari glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi
pada tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali
natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif,
dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses
ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada
tubulus dan diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan
masuk ke fesika urinaria.
D.
ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab
CKD menurut Price, dan Wilson (2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,
gangguan jaringan
ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik,
nefropati toksik,
nefropati obsruktif.
Beberapa contoh dari
golongan penyakit tersebut adalah :
1.
Penyakit infeksi
tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2.
Penyakit peradangan
seperti glomerulonefritis.
3.
Penyakit vaskular
seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
4.
Gangguan jaringan ikat
seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan seklerosis
sistemik progresif.
5.
Gangguan kongenital dan
herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus ginjal.
6.
Penyakit metabolik
seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
7.
Nefropati toksik
seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8.
Nefropati obstruktif
seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari
hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria
dan uretra.
E.
PATHOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses
terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekresikan kedalam urin tertimbun dalam
darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi
glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga
kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif
dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan
natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari
tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan
resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi
juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat
ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada
CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin
sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi
sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut
Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh
yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang
lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang
menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang,
selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara
normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi
penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal
terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan
urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat
memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
F.
MANIFESTASI
KLINIS
Karena pada CKD setiap sistem tubuh
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda
dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari. Manifestasi yang terjadi
pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro
intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler
:
a. Hipertensi,
yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron.
b. Gagal
jantung kongestif.
c. Edema
pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi
seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal
seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual
sampai dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler
seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot
sampai kejang.
5. Pulmoner
seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmol, sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal
seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat
terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi
feron.
7. Psiko
sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri rendah (HDR),
ansietas pada penyakit dan kematian.
G.
KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis
dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi
dari CKD menurut
Smeltzer dan Bare
(2001) serta
Suwitra (2006) antara
lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan
sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis,
efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang
tidak adekuat.
3. Hipertensi
akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4.
Anemia akibat penurunan
eritropoitin.
5.
Penyakit tulang serta
klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6.
Uremia akibat
peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7.
Gagal jantung akibat
peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8.
Malnutrisi karena
anoreksia, mual, dan muntah.
9.
Hiperparatiroid,
Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
H.
PENATALAKSANAAN
Penderita CKD perlu mendapatkan
penatalaksanaan secara khusus sesuai dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya
penatalaksanaan secara umum. Menurut Suwitra (2006), sesuai dengan derajat
penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel
2.1
Derajat
CKD
Sumber : Suwitra 2006.
Derajat
|
LFG
(ml/mnt/1,873 m2)
|
Perencanaan
penatalaksanaan terpi
|
1
|
> 90
|
Dilakukan terapi pada
penyakit dasarnya, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progresion) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
|
2
|
60-89
|
Menghambat pemburukan
(progresion) fungsi ginjal.
|
3
|
0-59
|
Mengevaluasi dan melakukan
terapi pada komplikasi.
|
4
|
15-29
|
Persiapan untuk pengganti
ginjal (dialisis).
|
5
|
< 15
|
Dialysis dan
mempersiapkan terapi penggantian ginjal (transplantasi ginjal).
|
Menurut Suwitra (2006)
penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Waktu yang tepat dalam
penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum terjadinya penurunan LFG,
sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila
LFG sudah menurun sampai 20–30 % dari normal terapi dari penyakit dasar sudah
tidak bermanfaat.
2.
Penting sekali untuk
mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit CKD, hal
tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas
penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat
diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan dan
pengeluaran urin serta
Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas
tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang mengandung
kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt. sedangkan
pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah
garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3.
Menghambat perburukan
fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah hiperventilasi glomerulus
yaitu :
a) Batasan
asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi
antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis
tinggi. Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian
diit. Protein perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan
dipecah dan diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat
terjadi malnutrisi masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu
makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion
anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein
bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan protein berasal dari
sumber yang sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b) Terapi
farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti
hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada
kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting
angiotensin (Angiotensin Converting Enzim
/ ACE inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti proteinuri.
4.
Pencegahan dan terapi
penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian
pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada kardiovaskuler.
Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian
hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada kelebian
cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi CKD secara keseluruhan.
5.
CKD mengakibatkan
berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan LFG.
Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin. Pemberian
kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya harus
dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi
dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi
ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
I.
PENGKAJIAN
FOKUS
Pengkajian
fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai
berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan
berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD dibawah umur
tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan
dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga
mempunyai peranan
penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk /
berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum
/ mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat
penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian
pola fungsional Gordon
a.
Pola persepsi dan
pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien
mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien juga
mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu
dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala
hal yang telah dilarang telah dihindari.
b.
Pola nutrisi dan
metabolik.
Gejalanya
adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya
adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c.
Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d.
Aktifitas dan latian.
Gejalanya
adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e.
Pola istirahat dan
tidur.
Gejalanya
adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f.
Pola persepsi dan
koknitif.
Gejalanya
penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti
ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g.
Pola hubungan dengan
orang lain.
Gejalanya
pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya
HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak
jelas.
h.
Pola reproduksi
Gejalanya
penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam hubungan.
Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i.
Pola persepsi diri.
Gejalanya
konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan,
terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j.
Pola mekanisme koping.
Gejalanya
emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k.
Pola kepercayaan.
Gejalanya
pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah
agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
5.
Pengkajian fisik
a.
Penampilan / keadaan
umum.
Lemah, aktifitas
dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari compos
mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda
vital.
Tekanan darah naik,
respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan
selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian
cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata
kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan
terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa
mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher
dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar
tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada
edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada
tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan
nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido,
genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i.
Ekstremitas.
Kelemahan fisik,
aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.
Kulit.
Turgor jelek, terjadi
edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi
perikarditis.
6.
Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan
Laboratorium :
1.
Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria),
atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin
disebabkan oleh pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen
kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat
Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
d) Osmolalitas
: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine / ureum
sering 1:1.
2.
Kliren kreatinin mungkin
agak menurun.
3.
Natrium : Lebih besar
dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
4.
Protein : Derajat
tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel
darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5.
Darah
a) Kreatinin
: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung
darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari
7-8 g/dL.
c) SDM
(Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
d) GDA
(Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium
serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal (menunjukkan
status dilusi hipernatremia).
f) Kalium
: Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir ,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
Magnesium terjadi peningkatan fosfat,
kalsium menurun. Protein
(khuusnya albumin),
kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas serum lebih
besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan
Radiologi
1. Ultrasono
grafi ginjal digunakan untuk
menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi
Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi
ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG
mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB
foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram
ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler,
massa.
7. Pielogram
retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram
adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedalam ureter, dan
retensi.
9. Pada
pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi
kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat
pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. pada
terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi,
obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM,
sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
J.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Diagnosa
keperawatan pada masalah CKD menurut Doenges (2001), dan Carpenito (2006)
adalah sebagai berikut :
1. Perubahan
pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
2.
Gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual muntah.
3. Gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi
ke jaringan sekunder.
4. Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi cairan dan
natrium
5. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis.
6. Resiko
gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder terhadap
adanya edema pulmoner.
7. Resiko
penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
8. Resiko
kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan
gangguan turgor kulit atau uremia.
9. Perubahan
proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, akumulasi toksik,
asidosis metabolik, hipoksia, ketidak seimbangan elektrolit, klasifikasi
metastatik pada otak.
K.
FOKUS
INTERVENSI DAN RASIONAL
Intervensi keperawatan pada CKD menurut
Doenges (2001), Carpenito (2006) dan, Smeltzer dan Bare (2001) adalah.
1. Perubahan
pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pola napas efektif.
Kriteria hasil : Gas Darah
Analisa (GDA) dalam rentang normal, tidak ada tanda sianosis maupun dispnea, bunyi
napas tidak mengalami penurunan, tanda-tanda vital dalam batas normal (RR 16-24
x/menit).
Intervensi :
a) Kaji
fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada, dispnea,
sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional
: Distress pernapasan dan perubahan tada vital dapat terjadi sebagai akibat
dari patofisiologi dan nyeri.
b) Catat
pengembangan dada dan posisi trakea
Rasional
: Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun apabila terjadi ansietas
atau edema pulmonal.
c) Kaji
klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau napas dalam.
Rasional
: Tekanan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif dan
dapat mengurangi trauma.
d) Pertahankan
posisi nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasional
: Meningkatkan ekspansi paru.
e) Kolaborasikan
pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional
: Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan status cairan.
f) Kolaborasikan
pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional
: Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi dari
implementasi, juga adanya kerusakan pada paru.
g) Kolaborasikan
pemberian oksigen pada ahli medis.
Rasional : Menghilangkan distress
respirasi dan sianosis.
2. Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat, mual,
muntah, anoreksia.
Tujuan
: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Pengukuran antropometri
dalam batas normal, perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat tidak
terjadi, pengukuran albumin dan kadar elektrolit dalam batas normal, peneriksaan
laboratorium klinis dalam batas normal, pematuhan makanan dalam pembatasan diet
dan medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia.
Intervensi :
a) Kaji
status nutrisi, perubahan berat badan, pengukuran antropometri, nilai
laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, dan kadar besi).
Rasional
: Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b) Kaji
pola diet dan nutrisi pasien, riwayat diet, makanan kesukaan, hitung kalori.
Rasional
: Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu.
c) Kaji
faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi misalnya adanya anoreksia,
mual dan muntah, diet yang tidak menyenangkan bagi pasien, kurang memahami
diet.
Rasional
: Menyediakan informasi mengenai
faktor lain yang dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d) Menyediakan
makanan kesukaan pasien dalam batasan diet.
Rasiomal : Mendorong peningkatan masukan
diet.
e) Anjurkan
camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara waktu makan.
Rasional
: Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan kalori untuk
energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
f) Jelaskan
rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal dan peningkatan
urea serta kadar kreatinin.
Rasional
: Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet, urea, kadar
kreatinin dengan penyakit renal.
g) Sediakan
jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan untuk memperbaiki
rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional
: Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap pembatasan diet
dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang dapat digunakan dirumah.
h) Ciptakan
lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional
: Faktor yang tidak menyenagkan yang berperan dalam menimbulkan anoreksia
dihilangkan.
i)
Timbang berat badan
harian.
Rasional
: Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
j)
Kaji bukti adanya
masukan protein yang tidak adekuat, pembentukan edema, penyembuhan yang lambat,
penurunan kadar albumin.
Rasional
: Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan albumin dan
protein lain, pembentukan edema dan
perlambatan peyembuhan.
3. Gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi
ke jaringan sekunder.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil : Membran
mukosa warna merah muda, kesadaran pasien compos mentis, pasien tidak ada
keluhan sakit kepala, tidak ada tanda sianosis ataupun hipoksia, capillary refill kurang dari 3 detik, nilai
laboratorium dalam batas normal (Hb 12-15 gr %), konjungtiva tidak
anemis, tanda-tanda vital stabil: TD 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit.
Intervensi
:
a) Awasi
tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan dasar kuku.
Rasional
: Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan perfusi jaringan dan
membantu menentukan kebutuhan tubuh.
b) Tinggikan
kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional
: Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan
seluler, vasokonstrisi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.
c) Catat
keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai dengan
indikasi.
Rasional
: Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan
untuk menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi
organ).
d) Kolaborasi
untuk pemberian O2.
Rasional
: Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
e) Kolaborasikan
pemeriksaan laboratorium (hemoglobin).
Rasional
: Mengetahui status transport O2.
4. Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine dan retensi cairan
dan natrium.
Tujuan
: Kelebihan cairan / edema tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Tercipta kepatuhan pembatasan diet dan cairan, turgor kulit normal tanpa edema,
dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
a. Monitor
status cairan, timbang berat badan harian, keseimbangan input dan output,
turgor kulit dan adanya edema, tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional
: Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b. Batasi
masukan cairan
Rasional
: Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, keluaran urine dan
respons terhadap terapi.
c. Identifikasi
sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan,
oral dan intravena.
Rasional
: Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
d. Jelaskan
pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional
: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan.
e. Bantu
pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien
meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
f. Kolaborasi
pada medis dalam pembatasan cairan intravena antara 5-10 tetes permenit, dan
pembatasan obat-obatan cair.
Rasional : dengan pembatasan cairan
intravena dapat membantu menurunkan resiko kelebian cairan.
5. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas
yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas keluwarga sesuai kemampuan, melaporkan peningkatan
rasa segar dan bugar, melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian, berpartisipasi
dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih.
Intervensi :
a) Kaji
faktor yang menyebabkan keletihan, anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
retensi produk sampah, dan depresi.
Rasional
: Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
b) Tingkatkan
kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika
keletihan terjadi.
Rasional
: Meningkatkan aktivitas ringan / sedang dan memperbaiki harga diri.
c) Anjurkan
aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional
: Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi dan
istirahat yang adekuat.
d) Anjurkan
untuk beristirahat setelah dialisis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialisis,
yang bagi banyak pasien sangat melelahkan.
6. Resti
gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap adanya edema pulmonal.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pertukaran gas
efektif.
Kriteria
hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pertukaran gas
efektif, GDA dalam rentang normal, tidak ada tanda sianosis maupun hipoksia, traktil
fremitus positif kanan dan kiri, bunyi napas tidak mengalami penurunan,
auskultasi paru sonor, tanda-tanda vital dalam batas normal : RR 16-24 x/menit.
Intervensi :
a) Kaji
fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada, dispnea,
sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional
: Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
dari patofisiologi dan nyeri.
b) Auskultasi
bunyi napas.
Rasional
: Untuk mengetahui keadaan paru yang menunjukkan adanya edema paru.
c) Catat
pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional
: Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun apabila terjadi ansietas
atau udema pulmoner.
d) Kaji
traktil fremitus.
Rasional
: Traktil fremitus dapat negative pada klien dengan edema pulmoner.
e) Pertahankan
posisi nyaman misalnya posisi semi fowler.
Rasional
: Meningkatkan ekspansi paru.
f) Kolaborasikan
pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional
: Untuk mengetahui elektrolit sebagai indicator keadaan status cairan.
g) Kolaborasikan
pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional
: Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi dari
implementasi.
h) Kolaborasikan
pemberian oksigen.
Rasional : Menghilangkan distress
respirasi dan sianosis.
7. Resiko
penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit).
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat dipertahankan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam
batas normal, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur,
akral hangat, Capillary refil kurang
dari 3 detik, nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L,
urea 15-39 mg/dl).
Intervensi :
a) Auskultasi
bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau kongesti vaskuler
dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan postural misalnya duduk,
berbaring dan berdiri.
Rasional
: Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan edema.
b) Selidiki
keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.
Rasional
: Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan defisit cairan.
c) Evaluasi
bunyi jantung akan terjadi frictionrub, tekanan darah, nadi perifer, pengisisan
kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional
: Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d) Kaji
tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional
: Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga anemia.
e) Kolaborasikan
pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional
: Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi jantung.
f) Berikan
obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler
sistemik.
8. Resiko
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan
gangguan turgor kulit (uremia).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil : Klien
menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan atau cidera kulit, tidak
terjadi kerusakan integritas kulit dan tidak terjadi edema.
Intervensi :
a) Inspeksi
kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya kemerahan,
ekimosis.
Rasional
: Menandakan adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan
dekubitus atau infeksi.
b) Pantau
masukan cairan dan hidrasi kulit serta membran
mukosa.
Rasional
: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
c) Inspeksi
area tubuh terhadap edema.
Rasional
: Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
d) Ubah
posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri bantalan pada
tonjolan tulang.
Rasional
: Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran balik statis
vena sebagai pembentukan edema.
e) Pertahankan
linen kering, dan selidiki keluhan gatal.
Rasional
: Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
f) Pertahankan
kuku pendek.
Rasional : Menurunkan
resiko cedera dermal.
- Perubahan proses
pikir berhubungan dengan perubahan sosiologis, akumulasi kultur, asidosis
metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan lektrolit dan klasifikasi
metastatik pada otak.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan tidak terjadi atau mempertahankan proses pikir dan harga
diri pasien tidak turun.
Kriteria hasil : tidak terjadi
disorientasi orang, tempat dan waktu serta tidak terjadi perubahan prilaku pada
pasien.
Intervensi :
a. Observasi
luasnya gangguan kemampuan berpikir, mental, dan orientasi. Perhatikan juga
luas lapang pandang.
Rasional : Efek sindrom uremik dapat
terjadi dengan kekacauan pikiran dan berkembang pada perubahan prilaku sehingga
tidak dapat menyerap informasi sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam
keperawatan.
b. Validasi
pada orang terdekat pasien tentang kondisi mental pasien dalam sehari-hari.
Rasional : Perbandingan antara
perburukan dan perbaikan gangguan.
c. Berikan
lingkungan yang tenang.
Rasional : Meminimalkan rangsang
lingkungan untuk menurunkan keletian sensori.
d. Orientasikan
kembali lingkungan, waktu, dan orang.
Rasional : Mempantu pasien mengingat dan
mengenal kembali keadaan sekitarnya.
e. Berikan
penjelasan pada pasien tentang penyakit, akibat, gejala, dan
penatalaksanaannya.
Rasional : Memberi informasi pada pasien
dan menghilangkan kecemasan pasien.
f. Motivasi
pasien untuk tetap semangat, tidak cemas, untuk berusaha bergaul dengan orang
sekitar tanpa rasa malu dan tetap percaya diri.
Rasional : Meningkatkan rasa percaya
diri pasien, mencegah proses menarik diri pada pasien dan meningkatkan
keyakinan pasien.
g. Meningkatkan
istirahat yang adekuat.
Rasional : gangguan tidur dapat
meningkatkan gangguan kemampuan koknitif lebih lanjut.
h. Beri
O2 sesuai indikasi.
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat
memperbaiki kognitif.
betmatik
ReplyDeletekralbet
betpark
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
LCML